Mohon tunggu...
Deddy Dharmawan Tumonggi
Deddy Dharmawan Tumonggi Mohon Tunggu... Dosen - Pendeta pada Gereja Kristen Sulawesi Tengah dengan tugas khusus sebagai Dosen

Lahir di Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada tanggal 20 Maret 1983.Menyelesaikan studi di jenjang strata II dan II pada Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.Program Studi Sosilogi Agama. Memiliki ketertarikan dan terlibat kerja sosial dengan isu-isu kemanusian, perdamaian lintas agama serta kebudayaan berbasis komunitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meng-Indonesia dari Bumi Sintuwu Maroso

13 Mei 2021   14:48 Diperbarui: 13 Mei 2021   15:06 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meng-Indonesia Dari Bumi Sintuwu Maroso

Tepat di hulu Sungai Poso mengalirkan tumpukan air alami Danau Poso ke arah utara menuju Laut di Kota Poso, ada orang-orang yang terus belajar menjadi Indonesia. Konon, di tempat ini awal mula peradaban tana Poso. Tanah kehidupan titipan Sang Ilahi yang oleh lidah-lidah leluhur menyebutnya dengan nama Lemba nTana Poso. Generasi selanjutnya menyebut Bumi Sintuwu Maroso. Sekarang, dengan nama Kota Tentena, "pusat dunia" peradaban manusia-manusia Poso itu pernah disejarahkan.

Tidak kurang seabad lalu, pemukim dataran tinggi sekitar Sungai Poso "turun gunung" menetap di distrik kuno bernama Tentena. Demi mengejar adab modernisasi, di kampung tua Tentena dibangun tempat-tempat layanan pendidikan, kesehatan, dan juga keagamaan yang formal. Dari situ, cerita kehidupan orang-orang Tentena berkembang. Saya sendiri mungkin sudah generasi keempat yang lahir dan tumbuh dari rahim tanah yang berkembang ini.

Saya pernah menyaksikan bagaimana tanah ini pernah penuh tangis karena orang-orang yang hidup di atasnya hidup dengan kebencian atas nama agama dan suku. Padahal, sebelum itu saya juga pernah mengalami tertawa bahagia dengan teman-teman kecilku yang tidak seagama. Cinta dan kebencian seperti hanya dipisahkan garis putus-putus dan abu-abu dari ajaran agama. Agama tampil bak tombol "switch" pada saklar listrik. Di tekan ke atas, maka aliran cinta mengalir. Sebaliknya ke bawah, aliran kebencian yang menyegat manusia-manusia pencari Tuhan.

Selang dua hampir dua dekade, Kota Tentena rupanya kembali menata dirinya. Belajar dari kesalahan masa lalu. Tahun ini misalnya, khusus di bulan Ramadhan, dari suara-suara Toa Masjid dan Gereja tiap hari terlantun nyanyian-nyanyian iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bila disaksikan dari pinggiran sebelah barat aliran Sungai Poso, panorama landscap Tentena menampilkan dua menara rumah ibadah itu hanya berjarak tidak kurang dari 300m. Ini simbol keindahan hidup berdampingan. Dari dua gedung itu keluar sikap antarumat yang toleran. Belum ada suara-suara keluh karena merasa terganggu karena beda lantunan. Dan semoga tidak pernah ada, karena itulah Indonesia.

Kini, dari Tentena, salah satu pusat dunianya Bumi Sintuwu Maroso, orang-orangnya sedang belajar lagi meng-Indonesia. Tentu saja ini proses panjang. Sebab tidak ada proses menjadi (meng-) yang benar-benar selesai. Manusia-manusianya belajar hidup akrab kendati berbeda. Dari kota kecil ini penduduknya belajar mengolah keragaman sambil menempatkan penghargaan setinggi-tingginya bagi yang lain. Yang sudah ada dan baru ada sama-sama berada di satu tanah. Tanah yang di atasnya ditegakkan peradaban leluhur kami yang humanis.

Karenanya pada moment keagamaan unik di bulan ini; Hari Kenaikan Yesus Kristus, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Waisak, Tentena mengucap "Sintuwu Maroso" (Saling Menghidupkan, Maka Kita Kuat). Dalam kebersamaan hidup, dan kesamaan prinsip kemanusiaan antar semua manusia, ada kekuatan! Kekuatan membangun peradaban yang harmoni.  Di atas tanah ini tidak boleh ada kebencian atas nama apapun dan ajaran apapun. Di atas tanah ini nilai manusia dihargai setinggi-tingginya melampaui batas-batas suku, agama, ras manapun. Di atas tanah ini semua orangnya berhak hidup secara berkeadilan.

Wai, para pemilik kekuasaan negara, pengayom masyarakat, kepadamu kami meminta perlindungan, dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Pada tanggung jawabmu kami letakkan harapan keamanan dan kedamaian tanah ini. Sebab, dari tanah Bumi Sintuwu Maroso ini, kami tetap mau belajar meng-Indonesia. Jaminlah keakraban hidup kami sebagai sesama warga negara. Walau beda, tapi satu tanah air. Tanah Air Indonesia. Hanya itu!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun