Mohon tunggu...
Dea Zazkya
Dea Zazkya Mohon Tunggu... pelajar

hiii aku suka banget sama memasak, setiap hari aku suka mencoba-coba resep, oh aku juga suka berkebun nah bahan masakan ku biasa nya aku ambil dari hasil berkebun selain itu aku juga suka hiking

Selanjutnya

Tutup

Music

Sound Horeg, Hore Atau Meresahkan

5 September 2025   11:09 Diperbarui: 5 September 2025   11:09 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di tengah gemuruh pesta hajatan atau arak-arakan di kampung-kampung, belakangan ini muncul sebuah fenomena yang akrab di telinga kita, yaitu "sound horeg." Istilah ini merujuk pada sistem tata suara atau sound system yang kekuatannya luar biasa besar, menghasilkan dentuman bass yang begitu kuat hingga mampu menggetarkan seisi desa. Bagi sebagian orang, suara ini adalah simbol kemeriahan, namun bagi sebagian lainnya, ia menjadi sumber keresahan yang mengganggu ketenangan dan kenyamanan hidup.

Secara sosiologis, fenomena "sound horeg" dapat dipahami sebagai sebuah perwujudan dari kegagalan interaksi sosial dalam sebuah ruang publik. Di satu sisi, ada kelompok sosial yang menganggap sound system berukuran raksasa ini sebagai simbol status sosial, sebuah bukti investasi besar dan kemampuan untuk menyelenggarakan acara yang "wah." Mereka melihatnya sebagai alat untuk menciptakan kegembiraan kolektif, sebuah bentuk ekspresi budaya yang menonjolkan kebersamaan dan kemeriahan. Bagi mereka, suara keras adalah bagian tak terpisahkan dari ritual perayaan yang sudah mengakar di masyarakat.

Namun, di sisi lain, fenomena ini menciptakan konflik sosial yang laten. Keresahan muncul ketika ruang privat (rumah tangga) terinvasi oleh ruang publik (acara hajatan). Getaran yang dihasilkan bukan lagi sekadar suara, tetapi juga gelombang fisik yang menerobos masuk ke dalam rumah-rumah warga. Kaca jendela bergetar, dinding terasa bergetar, bahkan barang-barang di dalam rumah pun ikut bergoyang. Hal ini memicu ketidaknyamanan kolektif yang dirasakan oleh warga yang tidak terlibat langsung dalam acara tersebut. Mereka yang sedang beristirahat, belajar, atau memiliki anggota keluarga yang sakit, tiba-tiba harus menghadapi "teror" suara dan getaran yang tiada henti selama berjam-jam.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan adanya gesekan nilai antara nilai ekspresif (ekspresi kegembiraan dan kemeriahan) dan nilai instrumental (kebutuhan akan ketenangan dan kenyamanan). Masyarakat sering kali terjebak dalam dilema ini: bagaimana merayakan kebahagiaan tanpa mengganggu orang lain? Dalam konteks ini, "sound horeg" menjadi simbol dari pudarnya etika sosial dan solidaritas komunal. Sikap egoisme kelompok, di mana kepentingan segelintir orang diutamakan tanpa mempedulikan dampak terhadap orang banyak, menjadi semakin kentara.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan sebuah rekonsiliasi sosial yang tidak hanya mengandalkan aturan formal, tetapi juga kesadaran dari setiap individu. Penting untuk mengembalikan norma-norma sosial yang menjunjung tinggi toleransi dan saling menghormati. Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk kembali merenungkan esensi dari sebuah kebahagiaan. Bahwa kemeriahan yang sejati bukanlah tentang seberapa keras suara yang dihasilkan, melainkan tentang kebahagiaan yang bisa dibagi tanpa merugikan dan mengganggu hak orang lain untuk hidup dengan tenang. Maka dari itu, "sound horeg" seharusnya bisa menjadi alat untuk menyatukan dan menghibur, bukan memecah-belah dan mengganggu. Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk menemukan harmoni antara kegembiraan dan ketenangan, agar "sound horeg" benar-benar menjadi "hore," bukan lagi "meresahkan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun