Mohon tunggu...
Dea Fauzia Abdillah Dea
Dea Fauzia Abdillah Dea Mohon Tunggu... -

ABSURD

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pesona dan Tangisan Si Kota Kembang

24 Mei 2013   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:05 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel



Bandung, Bandung, Sasakala Sangkuriang

Dilingkung Gunung, Heurin Ku Tangtung, Puseur Kota Nu Mulya Parahyangan

Bandung, Bandung, Pangbeubeurah Nu Nandang Muyung

Judul tulisan ini bernama PESONA DAN TANGISAN SI KOTA KEMBANG. Diawali dengan sedikit penggalan lagu yang menceritakan tentang keindahan dan pesonanya si kota kembang, namun ternyata tak luput dari kisah pilu dan kesedihan mendalam. Judul yang bermakna kontradiktif ini sengaja disandingkan agar pembaca sekalian dapat mengetahui kondisi Bandung kekinian maupunelegansinya di masa lalu.

Bandung secara administratif terpilah menjadi beberapa wilayah. Wilayah-wilayah tersebut terbentuk hasil dari pemekaran dan menjadi daerah yang memiliki otonomi khusus. Tersebutlah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Semua wilayah tersebut adalah satu kawasan dimana kita sebut dengan penamaan istilah Kawasan Cekungan Bandung.

Bandung adalah sebuah kota yang memiliki nilai eksotisme yang sangat tinggi. Bandung dengan sebutan kota Kembangnya, karena begitu hijau dan rindang akan pesona alamnya. Sebutan yang cukup fantastis adalah, Bandung memperoleh nilai kesetaraan dengan Kota Paris di Prancis, sehingga mendapat julukan The Paris Pan Java. Bandung dengan kota fashionnya dengan berbagai aneka kreasi factory outlet, clothing dan distronya. Bandung dengan klub sepakbola kesayangannya PERSIB. Bandung dengan wisata kulinernya di setiap penjuru sudut kota. Bandung dengan barometer musik baik indie maupun major label dari melankolis hingga Death Metalnya. Bandung dengan industri kreatif dan kerajinannya, dan masih banyak lagi sebutan untuk kota yang menjadi kebanggaan masyarakat Sunda ini. Hal ini menunjukkan bahwa Bandung tidak pernah mengenal kata mati untuk maju dan berkembang. Mencerminkan kekuatan yang akan menjadi senjata kebanggan di era globalisasi. Tetapi dari semua sebutan itu, ada yang luput dari pengamatan kita. Apakah ini sejalan dengan prinsip hidup kita untuk selalu berkonsisten menjaga kelestarian alam di Bumi Priangan ini? Ataukah terus mengejar popularitas eksistensi dalam dunia globalisasi tanpa peduli dengan keadaan masa lalu dan masa kini?

Menurut Budi Brahmantyo,seorang peneliti dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengutarakan bahwa Bandung memiliki sejarah alamnya yang luar biasa. Dari laut bertaman karang yang indah pada Zaman Tersier Kala Oligo-Miosin 30 – 20 juta tahun yang lalu, berubah menjadi daratan gunung api pada Kala Pliosin 5 – 4 juta tahun yang lalu. Pada Zaman Kuarter 2 juta tahun yang lalu, seluruh Jawa Barat mulai terangkat menjadi daratan, menjadi pegunungan dengan dihiasi gunung – gunung api aktif. Letusannya silih berganti : Gunung Sunda Purba meletus dahsyat berkali – kali. Gunung – gunung lain meletus susul menyusul : Gunung Tampomas, Ciremai, Syawal, Galunggung, Guntur, Papandayan, Cikurai, Patuha, Gede – Pangrango, dan Krakatau.

Pada Zaman Kuarter, sekitar 135 ribu tahun yang lalu, Danau Bandung terbentuk. Genangannya yang luas mengisi seluruh daratan tinggi Bandung dari Rancaekek hingga Saguling pada ketinggian antara 710 – 715 m di atas permukaan laut sekarang. 16 ribu tahun yang lalu, seiring dengan turunnya permukaan air laut, air danau menerobos perbukitan Saguling membelah dan membentuk lembah antara Pasir Larang dan Pasir Kiara, mengeringkan danau Bandung. Airnya kemudian mengalir pada lembah Sungai Citarum menerobos Gua Sangiangtikoro, dan terus mengalir ke utara. Jadi, tempat mengeringnya danau Bandung berada jauh ke arah hulu pada punggungan bukit Pasir Larang-Pasir Kiara, tidak di Sangiangtikoro.

Pada masa – masa mengeringnya danau Bandung antara 16 – 3 ribu tahun yang lalu, daratan Bandung menjadi ranca (rawa) yang becek yang menjadi tempat berjejalnya badak-badak dan hewan-hewan lainnya. Inilah padang perburuan yang menggiurkan dimasa purbakala. Dengan bersenjatakan tombak bermata batu obsidian yang keras dan tajam, manusia-manusia prasejarah leluhur orang Jawa Barat beranjak dari kampung-kampung purba di lereng-lereng perbukitan sekeliling Bandung menyerbu hewan buruan di daratan dan ranca di bawahnya.

Batu obsidian yang ditambang di Kendan, Nagreg dan mungkin pula dari Gunung Kiamis, Garut, dibawa leluhur kita menyusuri jalan-jalan setapak antara Garut, Leles, Parakanmuncang, Cileunyi, Cinunuk, Cilengkrang, dan Cikadut hingga dibuat berbagai alat dan senjata di bengkelnya di kawasan Situ Cangkuang di Leles, Garut, dan di bukit Dago Pakar, Bandung Utara.

Sementara itu, koloni yang lain menjelajah perbukitan kapur di Citatah dan menemukan tempat yang nyaman untuk tinggal : sebuah gua yang sekarang dinamakan Gua Pawon, serta ceruk-ceruk batu kapur yang banyak terdapat pada perbukitan kapur di bekas laut dangkal ini. Budaya karuhun kita ternyata luar biasa. Mereka telah mengenal api, membuat peralatan dari batu dan tulang, membuat perhiasan dari gigi ikan hiu, membuat kendi-kendi dari tanah. Mereka mungkin menjelajah Garut dan Sukabumi Selatan, dan membawa pulang batu-batuan yang tidak ditemukan di sekitar Bandung. Mereka membawa oleh-oleh berupa gigi-gigi ikan hiu yang dirangkai menjadi kalung, dan kemudian menjadi hiasan kubur bagi orang yang mereka hormati. Orang yang mereka kubur dalam penghormatan tinggi, tahun 2003 kerangkanya tergali meringkuk tenang di Gua Kopi (di Gua Pawon).

Itulah sejarah singkat mengenai Bandung yang ditulis oleh Budi Brahmantyo. Begitu indah sejarah sebuah kota kecil bernama Bandung dengan segala kehormatannya. Bandung masa lalu yang indah kini berubah menjadi Bandung yang ramai akan kreativitas dan karyanya. Fasilitas umum dari mulai hotel, apartemen, sarana olahraga, pusat perbelanjaan, FO, clothing dan Distro, dan masih banyak lagi hal yang bisa kita temui dari keunikan wilayah yang terus mengedepankan prestasi. Namun, tanpa disadari pembangunan yang terus dikedepankan ini telah berimbas dan menghasilkan konsekwensi logis yang berakibat fatal . Tawa semula yang dapat dirasa kini secara perlahan berubah menjadi tangis berkepanjangan. Kebahagiaan dan keindahan Bandung masa lampau kini hanya dirasa sebagai sejarah belaka.

Pesona indah ini lambat laun bergeser menjadi luka. Bayangkan saja, dengan angkuhnya beberapa perusahaan yang mengatasnamakan dirinya berbuat untuk kepentingan orang banyak, secara membabi buta terus melakukan pembangunan di daerah Bandung Utara. Padahal, kita ketahui bahwa Kawasan Bandung Utara adalah kawasan konservasi dimana stabilitas daerah resapan air harus terus dijaga. Kerusakan lingkungan atas nama pembangunan ini terus terjadi. Alhasil, kekeringan di musim kemarau dirasakan oleh masyarakat Kota Cimahi, dan banjir pada musim hujanpun tak dapat dihindari. Daerah seperti Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Majalaya, seakan menjadi langganan banjir setiap tahunnya.

Pembangunan yang tidak terkendali saat ini tidak hanya merusak tatanan lingkungan saja tetapi telah menyentuh sebagian cagar budaya yang ada. Seperti contoh, penambangan pasir di daerah Cigugur dan Ciwaruga, Kabupaten Bandung Barat (dekat POLBAN) nyaris menggusur keberadaan Gua Jepang di sana. Tergantikan oleh bangunan besar nan mewah yang tentu saja hal ini sangat merugikan kita selaku masyarakat yang menjaga situs-situs sejarah.

Di belahan Barat Bandung pun tak urung mengalami kerusakan alam yang sangat parah setiap tahunnya. Kawasan bukit kapur yang berada di Padalarang setiap harinya mengalami degradasi lahan yang sangat intensif akibat dari penambangan dan penggalian pasir yang berkala. Mungkin beberapa tahun lagi, bentangan alam indah ini hanya tinggal cerita saja dan kita tinggal menunggu masa-masa keruntuhannya.

Belum lama ini, di kawasan Cihampelas Bandung pun akan berdiri sebuah apartemen mewah yang diperuntukkan oleh golongan ekonomi menengah ke atas. Sungguh ironis, ternyata pembangunan ini didirikan di atas lahan yang memiliki nilai sejarah yang tinggi pada zaman kolonial. Lagi-lagi kita hanya menjadi penonton setia ketika kerusakan ini terjadi didepan mata kita.

Sebetulnya, ini hanya sebagian kecil dari kondisi yang terjadi saat ini. Masih banyak masalah yang mungkin akan timbul setiap harinya diatas keadaan Bandungyang sudah tidak berkawan. Setelah membaca hal ini, lalu terbesit dalam pikiran kita. Siapakah yang telah berbuat salah? Alam? Atau Manusia? Pemerintah atau masyarakatkah?

Tentunya bukan saatnya lagi kita mencari kambing hitam dari peristiwa yang telah terjadi. Mungkin alam sudah mulai bosan dan muak dengan arogansi kita yang sudah antipasti bahkan apatis dengannya. Ditambah lagi ketidaktegasan pemerintah dalam menangani permasalahan dan cenderung memihak segelintir orang yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi. Memang, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dapat mengedepankan kepentingan hajat hidup orang banyak. Tetapi, apakah harus mengorbankan sejarah?haruskah mengorbankan alam dan lingkungan?

Frontier Mentality (mentalitas pembangunan) manusia pada dewasa ini telah mengalami sebuah dekadensi moral dimana tujuan serta labuhannya adalah materi, bukan lagi berorientasi secara holistic (menyeluruh) yaitu bersinergi antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang dalam hal ini adalah alam dan manusia.

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama, untuk dapat bersikap kritis, peka dan aspiratif dalam menghadapi issue terkini yang menimpa tatar kebanggaan kita, Bandung Si Kota Kembang. Harapan elegansi dan pesonanya akan selalu kita perjuangkan guna menjaga eksistensi Bandung sebagai wilayah yang memiliki nilai dan budaya yang luhur serta senantiasa, walaupun kita secara langsung tidak merasakannya, kelak anak dan cucu kita lah yang meneruskan perjuangan ini . Semoga bermanfaat !!!!

Dek dikukumahakeun oge, Bandung ulah oyag ku jalma harak carita jeung kapentingan dunya , Bandung lain nu sasaha , tapi nu urang sarerea!!

Dea Fauzia Abdillah,S.Pd

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun