Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, Penulis, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Haruskah Pendidik PAUD Di-PHK?

24 Desember 2020   11:09 Diperbarui: 24 Desember 2020   11:26 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Deassy M Destiani

"Pendidik PAUD itu adalah seorang Mujahid, " kata Ketua Himpaudi DIY Ibu Zamzani Ulwiyati pada sebuah webinar yang saya ikuti. Saya setuju dengan beliau, sebab tak mudah mencari pendidik yang mau bergelut dengan segala kerepotan anak usia dini. Apalagi untuk PAUD Non formal seperti KB, TPA dan SPS. Gaji minim jauh di bawah UMR (100 rb sd 750 ribu), status tak diakui sebagai guru, insentif belum bisa didapatkan semua pendidik, tak ada jaminan kesehatan apalagi jaminan hari tua. 

Di masa pandemi ini, kerepotan pendidik PAUD bertambah banyak. Seorang pendidik PAUD harus pintar menggunakan IT agak bisa terhubung dengan anak-anak dan wali murid via daring. Padahal gawai itu adalah benda yang tidak boleh digunakan saat pembelajaran PAUD sebelum pandemi. Guru biasanya mengajar dan berinteraksi langsung dengan anak, tak perlu lewat layar HP. Jadi menggunakan gawai untuk mengajar adalah sebuah tantangan tersendiri. 

Katakanlah seorang pendidik PAUD sudah bisa menggunakan IT, masalah lain muncul tentang perangkatnya. Gawai atau laptop yang dibutuhkan untuk daring itu harus yang bisa menyimpan memori cukup banyak. Kalau penyimpanan hanya 16 GB sih sudah pasti ngadat deh gawainya. Sebab tugas anak-anak PAUD itu banyak kirim foto dan video hasil belajar sambil bermain di rumah. 

Guru kemudian harus menilainya untuk rapot perkembangan anak. Punya uang dari mana buat beli gawai baru? Dalam masa sulit ini, ketika sekolah di tutup dan pembelajaran lewat daring, jumlah murid yang daftar ke PAUD berkurang drastis. Dari sisi orangtua merasa percuma bayar sekolah tapi anak balitanya hanya di rumah. 

Mungkin ini gak berlaku buat sekolah favorit. Tapi saya yakin sih sekolah favorit juga akan mengurangi SPP dan uang pendaftaran sekolahnya. Sebab biasanya dulu di sekolah ada makan bersama dan pergi ke suatu tempat untuk puncak tema. Sekarang biaya seperti itu dipangkas karena tak boleh ada kegiatan di sekolah. Otomatis pendapatan sekolah juga berkurang. Bagaimana dengan PAUD yang dikelola secara mandiri bukan PAUD milik pemerintah atau yayasan?  

Saya sendiri mengelola PAUD Non Formal dalam bentuk SPS. PAUD SPS ini adalah PAUD paling bontot munculnya setelah TK, KB dan TPA. Sependek yang saya tahu, sudah banyak SPS yang tumbang karena kekurangan jumlah siswa. Bahkan beberapa diantaranya tidak bisa mengajukan BOP dikarenakan tidak cukup syarat minimal jumlah siswanya. 

Apalagi TPA atau Tempat Penitipan Anak. TPA gak boleh dibuka, padahal orang tua tetap harus kerja. Lalu guru TPA mau disuruh kerja apa? Gak ada anak yang harus diasuh dan dijaga. Kalau di PHK yah gak tega, tapi digaji juga hanya makan gaji buta. Padahal uang lembaga juga berkurang dengan tak ada pemasukan dana. 

Pandemi sejak Februari 2020 hingga akhir tahun ini bukannya mereda tetapi malah makin merajalela. Memang betul semua terdampak. Tapi adakah yang berpikir bahwa lembaga PAUD sangat membutuhkan pertolongan? Beberapa lembaga yang saya kenal pengelolanya sudah banyak yang menyerah. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan pada gurunya jika lembaganya sudah tidak bisa menggaji gurunya lagi sebab pemasukan gak ada. 

Seorang teman bercerita tentang bagaimana dia berdiskusi dengan gurunya untuk masalah ini. 

"Bunda-bunda, terus terang saja dengan kondisi sekarang ini, lembaga kita sudah tidak sanggup menggaji Bunda-Bunda sesuai kontrak kerja yang kita sepakati bersama. Jadi agar sama-sama enak saya persilahkan Bunda-Bunda untuk memilih, apakah tetap bertahan di PAUD ini tanpa digaji sampai situasinya memungkinkan atau mundur dari sini untuk mencari pendapatan yang lebih baik."

Ternyata jawaban guru-guru di lembaga tempat teman saya itu sungguh mengharukan, 

"Kami paham Bunda bahwa situasi ini sangat tidak kita inginkan. Namun kami tetap akan melanjutkan mengajar di lembaga ini meski tanpa digaji. Masalah rejeki, biarlah Allah yang menentukan. Kami yakin jika rejeki kami hari ini bukan dari PAUD, pasti ada dari pintu rejeki yang lain. Namun meninggalkan PAUD bukanlah pilihan kami." 

Kisah itu terjadi pada bulan Agustus 2020, ketika tahun ajaran baru sudah dimulai dan lembaga tersebut tidak mendapatkan murid yang mau daftar karena pandemi. Apalagi lembaga teman saya itu adalah tempat penitipan anak dan kelompok bermain. Biasanyanya di tahun ajaran baru ada 15 sampai 30 anak yang mendaftar sebagai siswa baru. Saat itu, sama sekali tak ada. 

Awal pandemi di PAUD saya sendiri pernah membebaskan SPP selama dua bulan karena banyak orang tua yang kena PHK atau kehilangan pendapatan. Konsekuensi ini berdampak pada honor pendidik. Sebagai pengelola saya dilema. Satu sisi saya gak ingin memberatkan wali murid di sisi lain saya juga tak mau mengurangi honor pendidik. Bagaimana saya bisa membayar honor mereka jika saya menggratiskan uang SPP?  

Kebimbangan saya itu ternyata sirna ketika pendidik di PAUD saya bilang, "Bunda Deassy gak usah gaji kita dulu. Kita ikhlas kok gak digaji bulan ini. Kasian orang tua kalau harus bayar SPP saat pandemi begini. Uang 10 ribu saja sangat berharga untuk makan."  

Masya Allah saya sampai kehilangan kata-kata mendengar ketulusan pendidik di PAUD saya. Tak ada satupun pendidik dan pengelola di PAUD yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka ingin anak-anak didik tetap belajar meski mereka tak dibayar. 

Namun pandemi belum juga berakhir, tak mungkin setiap bulan mereka tidak saya gaji. Padahal mereka tetap semangat mengajar anak usia dini meski via daring. Buat beli kuota kan harus pakai uang juga. Buat saya sendiri sebagai pengelola PAUD pandemi ini sungguh berat. SPP orang tua banyak yang menunda bayar, donatur berkurang. Bisa bertahan di tengah badai ini saja sudah sangat beruntung. Sebab beberapa lembaga lain mulai berjatuhan tak mampu bertahan. Jika boleh mengeluh sebetulnya capek dengan semua ini. 

Kalau dipikir kenapa saya mau capek-capek ngurusin PAUD sih ? Udah gak ada duitnya, sibuknya sama kayak pekerja gaji 10 juta, tugasnya numpuk seperti dosen S2, keluarga kadang ditinggalkan karena harus diklat berhari-hari. Alasannya adalah karena susah mencari orang yang mau totalitas tanpa mengharap balasan sesuai pekerjaannya. Saya tak pernah berniat sedikitpun mencari kekayaan dari mengelola PAUD. Saya hanya wajib ikhtiar agar PAUD saya bisa berjalan dan membantu para orang tua mendidik anak usia dini. 

Bagaimana solusi dari pemerintah? Gak ada. Pemerintah hanya memberikan himbauan agar PAUD tidak dibuka. Semua pembelajaran via daring saja. Guru PAUD yang harus kreatif sendiri menyiasati kebutuhan ini. Beberapa teman pengelola TPA menyiasati tetap membuka layanan dengan cara membawa anak yang dititipkan di rumah mereka sendiri. Dengan demikian orang tua tetap bisa bekerja, anak tetap bisa dijaga. Guru PAUD juga bisa terima upahnya. 

Beberapa pendidik PAUD lainnya harus berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya dengan melakukan pekerjaan kasar. Ada pendidik PAUD yang banting stir jadi tukang las, penambang pasir di Cangkringan, Ojek online, sopir antar jemput buruh ke pasar, penjaga toko bangunan dan jualan kue di pinggir jalan. Pekerjaan berat seperti itu harus dilakoni juga oleh seorang pendidik PAUD demi bertahan hidup. 

Pendidik di PAUD saya Alhamdulillah masih bisa gajian meski jumlah yang diterimanya berkurang. Sebab dari 10 donatur yang biasanya berdonasi di PAUD Nusa Indah sekarang tinggal tiga orang saja. Apakah saya harus menyerah? Apakah saya harus PHK bunda-bunda di Paud saya? Ya Allah please jangan sampai deh. 

Saya tidak akan melakukannya. Saya percaya rejeki itu pasti sudah ditetapkan termasuk rejeki untuk para Guru PAUD saya. Semoga ada yang terketuk hatinya dan mau menjadi donatur menggantikan yang telah keluar. 

Buat sahabat-sahabat saya sesama guru dan pengelola PAUD, semangat yah!! 

Tak ada kata menyerah demi mendidik anak-anak usia dini. Sebab jika kita menyerah siapa yang akan membantu membangun generasi emas ini? Insya Allah setelah kesulitan pasti ada kemudahan. 

I Love U para Mujahid Paud 

Terimakasih buat para Donatur Paud. Donasi Anda sangat berarti buat kami!

(Tulisan ini saya dedikasikan untuk 234.895 lembaga Paud di Seluruh Indonesia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun