Aku tak tahu kapan Si Rian (begitulah nicknamenya biasa disebut) mulai memakai Si Laknat itu.
Awalnya aku nggak percaya bahwa dia salah satu user. Aku tahu dia anak sekolahan banget. Penghapal pelajaran yang baik. Punya effort yang keras untuk tidak DO dari kuliah. (Tempat gua salah satu sekolah ikatan dinas, bro). Tapi memang ada yang salah dari pergaulannya. Ada yang aneh. Teman-teman yang dipilihnya. Teman-teman yang awalnya mengenalkan glamour kehidupan Jakarta. Aku tahu dia sempet terpana dan mencoba mencari bentuk yang fix in dengannya. Sayangnya dia terlalu fly away. Mencari sesuatu yang ada di langit. Mencoba clubbing. Mencari dugem. Mencari kesenangan. Dicobanya linting demi linting ganja. Dituangnya sedikit demi sedikit liquor. Ketawa-tawa senang melupakan kepedihan dan kesedihan. Walaupun tak tahu apa yang diketawakan. Kebodohan atau kehampaan. Tak tahu itu. Lupa bahwa dia masih menjejakkan kakinya di bumi.
Rupanya perkenalannya dengan dunia lain membuatnya semakin susah untuk mengendalikan dirinya. Dia semakin tenggelam dalam dunianya. Lintingan-demi lintingan sudah tidak cukup lagi. Sedikit liquor tidak membikin dia mual lagi. Lalu, berlinting-linting ganja dan berbotol-botol liquor menjadi kawan hidupnya. Dia merasa menikmati dunianya sendiri. Sembunyi dari siapapun. Temen-temennya yang baik mencoba care, membuat dia tambah takut untuk bertemu dengan temannya itu. Dia sembunyi. Sudah lain jalan. Sudah terlalu jauh dia jalan dan ingin sendiri. Dia tak perlu teman lagi. Teman bagi dia ya Si Laknat itu.
Toh, sampai suatu ketika dia tak berdaya. Dia sakit. Dia tak bisa lagi mengerang pada siapapun. Tergeletak tanpa daya. Teman-teman yang awalnya mengenalkan dia pada Si Laknat itu sudah tidak lagi kelihatan batang hidungnya. (Atau mungkin mereka telah lewat dahulu?).
Demikian mudah, seorang Rian menyelesaikan babak cerita. Selesai begitu saja.
Pesan pendek dari seorang teman yang mengagetkanku tadi siang masih membuatku terpekur pada sore itu. Secangkir teh yang dingin seakan hanya jadi teman pajangan di meja. Aku enggan menyentuhnya. Kuhisap rokok yang tinggal separuh dan kuhembuskan asap rokokku kuat-kuat. Wuahhh.... Asap yang menghilang perlahan-lahan seakan siluet profil wajah Rian tujuh belas tahun yang lalu. Begitu muda dan segar. Namun kemudian segera menghilang ditelan angin sore.
Misteri, Misteri........
Tak tahu kapan datang kembali.
24 Agustus 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H