Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Leviathan dan Kontrak Sosial yang Menyimpang

10 September 2025   16:09 Diperbarui: 10 September 2025   16:09 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Insiden penabrakan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat (28/8/2025), bukan sekadar berita kriminal atau kecelakaan biasa. Peristiwa ini menorehkan luka kolektif, menegaskan lagi jurang yang semakin lebar antara penguasa dengan rakyat kecil.

Mobil baja yang mestinya melindungi, justru melaju cepat merenggut nyawa. Bukankah seharusnya kendaraan itu berhati-hati, apalagi di tengah kerumunan masyarakat sipil? Jika alasannya karena ada ancaman, rasanya sulit diterima nalar---sebab pengemudi ojol tidak membawa senjata, melainkan hanya harapan hidup untuk menafkahi keluarganya.

Di titik ini, publik melihat ironi yang nyata: negara yang mestinya menjadi pelindung justru tampil sebagai penggilas.

Rasa kecewa publik makin dalam ketika suara rakyat yang menuntut keadilan justru dibalas dengan pernyataan arogan dari sebagian anggota dewan. Alih-alih berempati, mereka menyalahkan masyarakat, bahkan menyindir bahwa orang Indonesia "suka melihat orang susah dan tidak suka melihat orang senang."

Ucapan ini menyakitkan. Sebab, setiap hari rakyat kecil harus mempertaruhkan waktu, tenaga, bahkan nyawa hanya untuk membawa pulang sepiring nasi ke atas meja. Kontras dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas wakil rakyat yang nyaris tak tersentuh risiko.

Ketidakadilan bukan hanya soal angka. Ia adalah luka psikologis. Rasa dipermainkan oleh elit yang hidup dalam menara gading.

Thomas Hobbes pernah menulis dalam Leviathan (1651), bahwa negara lahir dari kontrak sosial dimana rakyat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk mendapatkan perlindungan. Namun di Jakarta kemarin, Leviathan tampil bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai monster yang menindas.

Negara modern mestinya menjamin hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan rakyat---seperti ditegaskan John Locke dan Rousseau. Jika negara gagal, rakyat punya hak untuk menarik mandatnya. Inilah yang sering dilupakan penguasa.

Max Weber menyebut negara bisa berubah menjadi "sangkar besi" birokrasi. C. Wright Mills menggambarkannya sebagai kuasa elit yang sibuk menjaga privilese. Di Indonesia, kita melihat keduanya berjalan beriringan: aparat menjadi alat represi, sementara politisi menjadi aktor yang merawat sistem patronase.

Bahkan, pemikir muslim klasik seperti Al-Mawardi menegaskan, kekuasaan hanya bertahan jika dijalankan dengan adil. Ibn Khaldun pun memberi peringatan: arogansi dan penindasan akan meruntuhkan solidaritas antara rakyat dan penguasa.

Survei awal 2025 menunjukkan hampir 30% masyarakat tidak percaya pada DPR dan Polri. Angka ini berpotensi turun lebih jauh, apalagi dengan insiden seperti di Pejompongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun