Banyak yang bilang kalau menjadi presiden di Amerika Serikat adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Ada benarnya. Seorang presiden harus terus menyeimbangkan kepentingan politik domestik, tekanan internasional, serta ambisi pribadi yang kerap bertabrakan dengan hukum dan konstitusi. Donald Trump, dengan gaya khasnya yang penuh gebrakan, kembali menguji batas kekuasaan eksekutif lewat perang tarif global. Pertarungan ini kini berpindah ke panggung paling tinggi: Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Pertanyaannya sederhana tetapi sarat konsekuensi: apakah seorang presiden berhak menggunakan undang-undang darurat untuk melancarkan perang dagang sekelas perang dunia?
Semua bermula pada bulan April. Trump mengumumkan tarif besar-besaran terhadap hampir seluruh dunia dalam sebuah kebijakan yang ia sebut Liberation Day. Dengan gaya retorika khasnya, ia menggambarkan kebijakan itu sebagai langkah penyelamatan ekonomi Amerika. Namun tak butuh waktu lama sebelum kebijakan tersebut dibawa ke meja hijau.
Dasar hukum yang dipakai Trump adalah IEEPA (International Emergency Economic Powers Act). Undang-undang ini, seperti namanya, diciptakan untuk menangani keadaan darurat internasional---misalnya embargo terhadap negara musuh atau pembekuan aset teroris. Namun Trump menggunakannya untuk sesuatu yang jauh lebih luas yakni tarif perdagangan global.
Bagi banyak pihak, langkah ini bukan sekadar "kreatif" melainkan penyalahgunaan. Pengadilan banding kemudian memutuskan bahwa tarif Trump ilegal dengan suara 7 berbanding 4. Hakim menegaskan: kekuasaan darurat bukanlah cek kosong. Penetapan tarif adalah kewenangan Kongres, bukan presiden.
Tidak puas dengan kekalahan itu, Trump langsung mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS. Dari sini, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi:
1. Mahkamah Agung menolak kasus ini. Artinya, putusan pengadilan banding tetap berlaku dan tarif Trump batal demi hukum.
2. Mahkamah Agung menerima kasus tetapi tetap menguatkan putusan banding. Hasilnya sama: tarif Trump ilegal.
3. Mahkamah Agung membatalkan putusan sebelumnya dan menyatakan langkah Trump sah.
Trump jelas berharap pada opsi ketiga. Ia bahkan mengklaim kemenangan di Mahkamah Agung akan menjadikan Amerika "tak terbayangkan kayanya." Namun sejarah justru menampakkan pola berbeda.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada 1970-an, Presiden Richard Nixon pernah mencoba jalan serupa. Dengan dalih inflasi, gejolak mata uang, dan keamanan nasional, ia memberlakukan tarif darurat. Namun Kongres melihat manuver itu sebagai upaya melewati batas. Akhirnya, mereka memperketat aturan agar presiden di masa depan tidak semena-mena.
Nixon belajar dengan pahit bahwa dalih "darurat" bukan tiket gratis. Trump, tampaknya, memilih untuk melupakan sejarah.
Yang membuat kasus ini semakin kompleks adalah justifikasi baru yang diajukan pemerintahan Trump: tarif untuk perdamaian di Ukraina. Logikanya, dengan menekan negara-negara yang masih berbisnis dengan Rusia---termasuk India---Trump bisa melemahkan Moskow.