Di era kecerdasan buatan yang bergerak cepat ini, kita sering membayangkan persaingan antarperusahaan teknologi terjadi lewat produk dan algoritma. Tapi jika kita mengintip lebih dalam, sebenarnya perang paling sengit terjadi jauh dari sorotan publik---di ruang perekrutan.
Mark Zuckerberg, CEO Meta, tampaknya paham betul bahwa pertarungan terbesar AI bukan hanya soal teknologi, tapi tentang siapa yang berhasil merekrut para jenius di baliknya. Bahkan, menurut laporan WJS, Zuckerberg menyebut tim perekrutan sebagai "war room" atau ruang perang. Istilah ini biasanya digunakan dalam konteks militer atau krisis politik. Artinya jelas: bagi Meta, ini bukan sekadar HR meeting, melainkan strategi bertahan hidup.
Dan mereka tidak sendirian. Di Silicon Valley, semua pemain besar (dari Google, Microsoft, hingga OpenAI) berburu para ilmuwan terbaik layaknya atlet bintang. Tawaran? Bukan lagi sekadar gaji nyaman. Kita bicara tentang signing bonus ratusan juta dolar, saham miliaran, dan tawaran yang bisa mengubah hidup siapa pun yang menerimanya.
Meta bahkan baru-baru ini merekrut seorang insinyur yang memimpin tim AI Apple, dengan paket gaji lebih dari $200 juta. Seorang individu, satu orang, dihargai seperti akuisisi perusahaan menengah. Dan itu bukan kasus tunggal.
OpenAI sendiri, yang sebelumnya mengeluhkan pembajakan talenta oleh Meta, kini balas merekrut insinyur senior dari Tesla dan Meta. Google membeli saham di Character.ai sebesar $2,7 miliar. Microsoft terus membuka dompet lebar-lebar demi mempertahankan bintangnya. Sementara itu, "The List"---daftar nama-nama insinyur incaran yang disusun Zuckerberg---beredar luas bak naskah rahasia militer.
Semua ini menunjukkan satu hal: bahwa dalam dunia AI saat ini, manusia jauh lebih berharga daripada mesin yang mereka buat.
Data mungkin disebut sebagai minyak baru abad ke-21, tetapi data bisa dikumpulkan, disimpan, dan diolah. Talenta---pikiran yang bisa menerjemahkan data menjadi lompatan teknologi---itulah yang benar-benar langka. Dan perusahaan teknologi menyadari itu.
Masalahnya, jumlah peneliti AI top dunia sangat terbatas. Tidak semua PhD dari kampus ternama bisa menjadi "pemain utama". Maka, ketika permintaan meningkat dan pasokan tetap, hukum pasar berlaku: harga melonjak, dan persaingan menjadi brutal.
Inilah wajah kapitalisme teknologi yang paling telanjang: adu kekayaan demi mengamankan otak-otak jenius. Dan tak ada yang malu mengakuinya. Semua transparan. Bahkan CEO OpenAI secara terbuka membicarakan tawaran gila-gilaan Meta. Ini bukan gosip, ini strategi bisnis.
Pertanyaan besar sekarang adalah: ke mana arah perkembangan AI jika hanya segelintir perusahaan yang menguasai seluruh otak terbaik dunia?
Jika hanya enam atau tujuh perusahaan raksasa yang sanggup membayar miliaran dolar untuk tim riset, maka monopoli pengetahuan tinggal selangkah lagi. Inovasi akan tersentralisasi. Dan kita, publik, mungkin hanya akan menjadi konsumen dari perang besar yang tak bisa kita ikuti, apalagi pengaruhi.