Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Empat Alasan Sandiwara Radio Inovatif Membangun Masyarakat Siaga Bencana

17 September 2016   23:43 Diperbarui: 18 September 2016   14:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jika ada nama negatif yang menggambarkan Indonesia, itu adalah: “Jagatvancana”, atau terjemahan bebas literal-nya “dunia pusat bencana alam”.

Bagaimana tidak, sejarah mencatat dari zaman pra sejarah hingga era komputer ini, berbagai bencana besar di muka bumi terjadi di Indonesia. Sebut saja letusan Gunung Toba 73.000 tahun lalu. Meski pun menghasilkan sebuah danau indah, diperkirakan letusan gunung api super di jantung Pulau Sumatera ini memuntahkan lebih dari 2.800 km kubik material yang menghitamkan langit, memicu perubahan iklim dan nyaris menghabisi seluruh populasi manusia. Catatan lainnya adalah letusan Gunung Tambora yang memusnahkan sebuah kerajaan besar, letusan Krakatau tahun 1883 yang menyebabkan tahun tanpa musim panas, atau yang terdekat tsunami besar satu dasawarsa lalu yang nyaris meratakan daratan Aceh.

Itu hanya sebagian catatan bencana alam di Indonesia, dan catatan bencana alam tersebut dipastikan masih akan terus bertambah. Menurut catatan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ada 60,9 juta jiwa di 153 kabupaten di Indonesia hidup di zona bahaya tinggi bencana alam, sementara 142,1 juta jiwa lainnya di 232 kabupaten berada di zona bahaya sedang.

Namun demikian, “musibah” sesungguhnya dari sebuah bencana justru terjadi disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat untuk menghadapi bencana alam. Korban tsunami 2004 di Aceh tidak akan mencapai angka lebih dari 170.000 jiwa jika masyarakat memiliki pengetahuan mengenai bencana alam dan terbangunnya budaya kesiagaan bencana. Sebagai contoh, korban jiwa di Pulau Simeuleu hanya berjumlah 7 jiwa, padahal Simeuleu adalah pulau yang paling dekat dengan epicentrum gempa dan mengalami kerusakan sangat masif. Kearifan lokal yang diwarisi turun temurun dalam sastra tutur Nandong, menyelamatkan sebagian besar warga Simeulue yang berbondong-bondong naik ke bukit sesaat setelah gempa terjadi.

Karena tanpa kita sadari kita hidup di negeri yang berada di bawah bayang-bayang bencana, sesungguhnya menjadi sebuah pekerjaan penting membangun masyarakat siaga bencana. Masyarakat yang tidak hanya memiliki kewaspadaaan dan mampu membaca tanda alami saat terjadinya bencana, tetapi juga mampu melakukan pertolongan, perawatan diri, dan mengatasi persoalan pasca bencana akibat rusaknya infrastruktur kehidupan, yang menjadi rentetan musibah pengiring sebuah bencana alam.

Bermacam cara sudah dilakukan oleh berbagai pihak terkait agar masyarakat bisa memiliki kesiagaan bencana. Ketika sosialisasi di perkotaan lebih mudah dilakukan karena infrastruktur komunikasi yang mapan, masyarakat di daerah yang belum terjangkau sarana komunikasi menghadirkan tantangan tersendiri. Karena itulah ketika tersiar kabar BNPB mengadakan program sandiwara radio untuk melakukan sosialisasi siaga bencana, saya termasuk pihak yang mendukung program inovatif ini.

Kenapa saya katakan inovatif?

Pertama, radio bisa menjangkau area yang lebih luas dibanding sarana komunikasi apa pun yang ada saat ini. Media lain seperti televisi dan koran tidak bisa menjangkau seluruh daerah karena alasan bisnis, cakupan area dan persoalan distribusi, radio menjadi pilihan paling tepat untuk menyampaikan pesan ke masyarakat yang lebih luas. Karena meski pun sebuah studi menunjukkan jumlah pendengar radio mengalami penurunan, penurunan itu tidak terasa dampaknya di daerah pedesaan yang menjadi sasaran utama program radio siaga bencana. Sehingga diharapkan siaran radio ini bisa menjangkau secara tepat masyarakat yang menjadi sasaran utama program tersebut.

Kedua, tidak seperti televisi yang bersifat audio visual menggunakan mata dan telinga saat memperhatikannya, atau koran yang membutuhkan konsetrasi dan pengetahuan, mengikuti acara radio bisa dilakukan sambil melakukan kegiatan lain. Masyarakat di daerah biasa mendengarkan radio sambil melakukan kegiatan bercocoktanam, atau ibu rumah tangga mendengarkan radio sambil mengasuh anak dan memasak. Bahkan masyarakat perkotaan pun masih banyak yang menjadi penggemar setia radio yang didengarkan dalam kendaraan saat terjebak kemacetan atau bersantai di rumah.

Ketiga, baik bagi pendengar radio atau pun BNPB sebagai penyelenggara program, media radio sangat ekonomis dibanding media mana pun. Harga televisi paling murah sekali pun tidak lebih murah dari satu unit radio. Sementara itu, tidak bisa dibayangkan berapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan BNPB untuk membiayai production house yang mampu membuat sebuah tayangan yang bernilai jual sehingga menarik minat stasiun televisi untuk menayangkannya, sekaligus menarik minat iklan. Jika harus ditayangkan sebagai iklan layanan masyarakat, pastinya akan sangat mahal dan belum tentu menjangkau lebih luas dari radio.

Keempat, terbangunnya hubungan simbiosis mutualisme antara pemilik usaha radio, pendengar dan BNPB. Jika bagi pemilik radio program semacam ini bisa menambah penghasilan di tengah persaingan bisnis radio yang semakin ketat, bagi BNPB jelas sekali dapat membantu usaha mewujudkan masyarakat siaga bencana. Dan lebih jauh lagi, jika suatu ketika terjadi bencana, kerjasama ini dapat ditindaklanjuti baik sebagai sarana penerangan, mau pun koordinasi dalam usaha-usaha tindakan darurat. Jangan lupa, meski pun hari ini telepon seluler sudah menjadi bagian keseharian kita, tetapi infrastruktur telepon seluler sangat rapuh. Ketika terjadi bencana besar dan bersifat luas, tidak ada telepon seluler yang bisa digunakan karena kerusakan infrastruktur. Peran vital radio sendiri dalam upaya koordinasi situasi darurat sudah dibuktikan pada peristiwa tsunami di Aceh 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun