"Mbak, di sini digaji berapa?" tanya salah seorang karyawan saat aku baru pertama masuk kerja.Â
Mungkin aku yang terlalu naif, berharap selama aku baik ke orang maka orang lain akan baik padaku. Meski sempat kaget dengan pertanyaannya yang frontal, aku pun menjawab perempuan bergamis itu dengan sejujur-jujurnya.Â
Kesannya baik, cara bicaranya terasa menyenangkan seperti seorang teman lama. Aku pun tergoda untuk mengategorikannya ke dalam 'rekan kerja yang bisa dijadikan teman'. Dalam setiap obrolan, lagi lagi aku menjawab semua pertanyaan yang diajukannya dan rekan sejawat lainnya dengan polos. Sampai aku tahu bagaimana wajah asli mereka satu per satu. Salahku memang, menaruh kepercayaan pada orang yang baru dikenal.
Aku cukup sadar diri bukan orang yang pintar. Bahasa inggrisku pun masih belum lancar secara aktif. Tapi, aku ingin belajar supaya mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Bagiku, menyelipkan satu dua kata bahasa inggris dalam percakapan adalah caraku untuk membiasakan diri. Dan itu bukan sesuatu yang wow di lingkungan pertemananku.Â
Namun, tidak begitu bagi mereka. Kata-kata seperti 'By the way', 'Anyway', 'Okay then', 'For your information', Â dan beragam kata bahasa inggris lainnya yang lumrah digunakan di media sosial, membuatku tampak sok keminggris di mata mereka.Â
Sebagai orang yang peka aku cepat menyadari saat seorang menirukanku dengan nada dan ekspresi mengejek. Sejak saat itu, lampu kuning menyala di kepalaku memberikan peringatan. Hati-hati. Â
Lain hari, aku mengobrol dengan salah seorang rekan di dalam ruangan saat jam istirahat. Bagiku yang acuh dengan urusan orang lain, isi obrolan kami nggak akan diperhatikan. Toh, kami cuma berdiskusi ringan. Tapi, ternyata aku salah. Ruangan tanpa sekat ini nyatanya tetap memantau dan mendengar, sekecil dan seringan apapun itu akan dirujak manis menjadi santapan bersama. Lagi lagi lampu kuning di kepalaku kembali menyala.Â
Sebagai karyawan baru, aku yang sebelumnya selalu bersemangat menjawab dan bercerita pun memilih diam dan mengamati. Membuat profile mereka di dalam kepala. Siapa yang jujur dan bisa dipercaya, dan siapa yang kata-katanya kosong belaka bermuka dua.Â
Aku pun memutuskan menjaga jarak. Mereka tidak untuk dijadikan teman, begitu batinku menyimpulkan. Sejujurnya, aku cukup terkejut dengan lingkungan kerjaku yang baru se-toxic itu. Aku nggak pernah membayangkan akan bekerja di lingkungan seperti ini.
Mungkin, waktu berdoa isi doaku kurang lengkap. Harusnya aku menyebutkan kalau ingin rekan kerja yang supportif, gaji yang layak, pekerjaan yang membuatku bersemangat tiap pagi, atasan layaknya mentor yang ingin timnya berkembang, pokoknya perusahaan yang memanusiakan manusia. Apakah terdengar muluk? Idealis? Nggak realistis? Dan impossible?Â