Ini hari Jumat. Pandanganku tertuju pada deretan orang yang duduk berjajar di trotoar. Wajah-wajah lelah itu menatap kosong, dengan pakaian lusuh dan kaki telanjang yang kotor oleh debu jalanan. Di samping mereka, tergeletak karung berisi gundukan botol plastik dan kardus bekas. Hasil jerih payah seharian yang mungkin hanya cukup untuk membeli sepiring nasi.
Janji-janji pemerintah berkelebat di benak. Muak rasanya melihat mereka yang seharusnya menjadi harapan 280 juta rakyat, justru ongkang-ongkang kaki di kursi empuk. Memamerkan gaya hidup mewah tanpa kontribusi nyata. Mereka menipu, menghisap darah rakyat kecil, dan memaksa banyak orang bekerja dengan upah yang bahkan tak cukup untuk hidup layak.
Begitu kontras dengan orang-orang yang aku lihat di trotoar pagi ini. Yang menunggu belas kasih, entah berupa sebungkus nasi, selembar uang, atau sekadar tatapan penuh empati.
Aku pun bertanya-tanya, apa bedanya hari ini dengan masa penjajahan dulu? Miris. Kini penjajah itu bukan lagi bangsa asing, melainkan saudara sendiri. Sesama pribumi, yang tega menindas demi kepentingan pribadi.
Tak heran jika banyak orang mulai pesimis pada negeri ini. Lelah dengan aturan yang tak masuk akal, kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Rakyat bersuara, tapi suaranya lenyap di antara ruang rapat dan lobi-lobi kekuasaan. Seolah negeri ini memang tidak dibangun dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Melainkan untuk mereka yang sudah berkuasa, dan terus ingin berkuasa. Lebih. Dan lebih lagi.
Katanya, masyarakat miskin dipelihara oleh negara. Tapi di mana buktinya? Bagaimana cara mereka "memelihara"? Apakah dengan membiarkan rakyat bertahan hidup di bawah jembatan, di emperan toko, dengan perut kosong dan mimpi yang makin hari makin kecil?
Ngilu rasanya hati ini. Melihat anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar, justru ikut orang tuanya mencari nafkah. Pendidikan mereka terpaksa dinomor-sekiankan, demi satu hal, agar perut tetap kenyang hari ini. Tapi besok? Lusa? Bagaimana masa depan mereka? Bukankah siklus kemiskinan ini akan terus berulang?
Kita sering dibuai oleh kata-kata "Indonesia maju", padahal di baliknya masih banyak perut lapar yang tak pernah masuk hitungan statistik. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan sibuk berdebat soal elektabilitas, sementara rakyat di bawah berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Sampai kapan kemiskinan dianggap tak lebih dari angka di laporan tahunan?
Jika yang berkuasa terus memelihara kesenjangan, maka sesungguhnya yang miskin bukan hanya rakyat di trotoar itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI