Mohon tunggu...
dea fadilla
dea fadilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - STAI Al-Anwar

mahasantri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialektika Kiai dan Santri: Peran Sosial Politik Pesantren Era Post-Truth

1 Desember 2022   13:11 Diperbarui: 1 Desember 2022   13:18 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan eranya masing-masing, dimana setiap era memiliki karakteristik berlainan baik dalam segi sosio-politik, sosio-kultural, maupun sosio-religi. Pesantren tidak ubahnya sebuah kerajaan kecil, dimana kiai sebagai pengasuh kharismatik yang ditaati oleh para santri. Selain itu di dalam pesantren mempunyai sistem terpadu sehingga kerap dianggap menjadi agen perubahan sosial yang patut diperhitungkan banyak kalangan termasuk dalam urusan politik. Akumulasi dari status sosial dan otoritas yang dimiliki kiai, ditambah dengan luasnya pengetahuan mereka, menjadikan kiai sebagai pemimpin kharismatik atau menurut perskpektif Max Weber disebut charismatic authority.

Pesantren dengan berbagai elemen di dalamnya memiliki keunikan dimana poros kehidupan pesantren didominasi dengan peran kiai yang cukup sentral. Posisi strategis dimiliki oleh kiai dalam memobilisasi massa dan menempati garda terdepan dalam mengadakan sebuah pergerakan. Peran kiai dalam wacana politik Indonesia sangatlah strategis namun juga dilematis. Sebagai elite politik, sesuai dengan paham ahlu sunnah wal jamaah, kiai wajib menaati pemerintah. Sebagai elite agama, kiai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama melalui amar ma'ruf nahi munkar.

Kehidupan sosial politik yang mewarnai Indonesia saat ini memasuki era post-truth dimana fakta lapangan menjadi objek yang dinomor duakan, sedangkan opini publik tanpa didasari dengan adanya bukti-bukti lapangan menjadi objek pemenang dan yang paling diperhitungkan. Post-truth adalah kondisi dimana fakta objektif tak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Post-truth merupakan era yang ditandai dengan kesimpangsiuran informasi dimana kebenaran menjadi hal yang sangat sulit diidentifikasi.

Kondisi post-truth dapat terjadi melalui opini logis yang sebenarnya belum tentu valid dan juga belum tentu dapat dibuktikan. Opini logis berupa common sense, akal sehat, atau nalar wajar yang sudah umum dibenarkan sangatlah mudah untuk diyakini. Opini nalar wajar terasa sangat relatable dan dekat dengan apa yang telah diketahui oleh publik. Sebelum membaca suatu berita maupun artikel, netizen sudah memiliki pendapat pribadi yang telah terbentuk dari stereotype yang ada tanpa mencari fakta. Berbagai opini itu sudah tertanam dan seakan telah menjadi akar yang sudah dianggap paling benar.

Era post-truth ditandai dengan kemenangan opini publik serta melemahnya fakta lapangan dimana media sosial menjadi salah satu jalan utama dalam menyebarkan dan mengonstruksi sudut pandang masyarakat. Hal tersebut merupakan ancaman terbesar bagi kehidupan sosial-politik Indonesia. Apabila sebuah kekuatan politik berhasil menjalin hubungan dengan sebuah pesantren, maka akan dengan mudah mendapatkan legitimasi baik secara formal maupun nonformal. Legitimasi mendatangkan kepercayaan publik dimana kiai berperan cukup strategis dalam menggerakkan dan mengkonstruk opini massa. Hal inilah yang cukup menjadi perhatian dimana otoritas kiai menjadi alat dalam menggiring opini publik terutama santri, agar berpihak pada pilihan tertentu sesuai dengan apa yang kiai fatwakan.

Hal ini menuntut para santri untuk bersikap kritis dalam menelaah hal-hal pragmatis dan tidak menjadikan fatwa sebagai referensi utama dalam menyikapi dan mengakomodasi peristiwa dan kegiatan politik. Kondisi sosial politik Indonesia pada era post-truth menuntut adanya revolusi mental dalam berpolitik agar tercipta kehidupan sosial politik Indonesia sehat seperti yang diharapkan. Revolusi mental berpolitik menjadi salah satu jawaban dimana sikap kritis santri menjadi penyeimbang sikap sami'na wa atho'na yang akan menjadi jawaban atas ketimpangan kehidupan sosial politik di era post-truth agar tercipta baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

Referensi

Atiqotul Fitriyah, Kiai dan Santri: Revolusi Mental Berpolitik Era Post-Truth, Jurnal Maarif, Vol 10, No 2, (Desember, 2015).

Nur Syam dalam KYAI, SANTRI DAN POLITIK -- Prof. Dr. Nur Syam, M.Si (uinsby.ac.id)

Hanaarwiendash dalam Peranan Kiai dalam dunia Perpolitikan Indonesia - Kompasiana.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun