Mohon tunggu...
Dea Adhista
Dea Adhista Mohon Tunggu... -

amateur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kami Mendurhakai Sumpah Pemuda

27 Oktober 2015   16:16 Diperbarui: 27 Oktober 2015   16:30 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia!

Begitulah kiranya bunyi butir terakhir Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh para pemuda Indonesia 87 tahun yang lalu. Sumpah yang dijunjung tinggi, sumpah yang dihormati, bahkan sumpah yang dibawa mati oleh para pejuang bangsa Indonesia. Namun, sumpah yang diteriakan atas nama persatuan bangsa Indonesia itu kini tidak lagi terdengar khidmat saat diikrarkan. Tidak lagi menggetarkan hati saat diteriakkan. Kini yang tersisa dari peringatan hari lahirnya bahasa Indonesia hanyalah foto-foto Selamat Hari Sumpah Pemuda di berbagai media sosial pemuda era milenium Indonesia.

Sebagai salah seorang mahasiswi jurusan sastra, saya cukup terkesima saat mengetahui banyaknya mahasiswa asing yang jauh-jauh datang ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia. Bangga bukan main perasaan saya. Bagaimana tidak, bahasa yang sehari-hari saya gunakan untuk berkomunikasi menjadi bahasa yang menarik minat banyak warga negara asing untuk memelajarinya. Hebat bukan?  Di satu sisi, sebersit perasaan khawatir dan malu muncul dalam benak saya saat melihat kontradiksi yang terjadi dalam perkembagan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Kekhawatiran yang mungkin juga muncul di banyak kepala orang Indonesia lainnya mengenai warga Indonesia yang lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasanya sendiri.

Tidak bisa dimungkiri, bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, sudah menjadi kebutuhan berbahasa yang tidak dapat dihadirkan terlepas dari perkembangan globalisasi di dunia, pun salah satunya di Indonesia. Dalam perkembangannya, bahasa Inggris menjadi bahasa yang lebih dipilih masyarakat Indonesia atas dasar gengsi yang tinggi karena tidak semua orang dapat menguasai bahasa tersebut. Namun, ada satu hal yang mungkin terlupakan oleh masyarakat Indonesia, yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi bangsa Indonesia. Banyak dari masyarakat Indonesia terlena dengan gengsi yang tinggi dari penggunaan bahasa asing, sehingga sudah malas kembali menggunakan bahasa Indonesia yang kini dinilai kuno dan kurang sesuai dengan perkembangan zaman.

Alangkah sedihnya melihat kenyataan tersebut, betapa bahasa yang dulu diperjuangkan oleh pemuda Indonesia, kini diterlantarkan begitu saja di rumahnya sendiri. Disimpan tanpa pernah digunakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi. Padahal, ada satu hal yang harus diingat oleh bangsa Indonesia, yakni bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu jutaan penduduk Indonesia yang juga memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Bahasa Indonesialah yang memersatukan rakyat Indonesia, bukan bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Bahasa-bahasa asing tersebut hanya menjadi jurang pembatas yang akan semakin menjauhkan bangsa Indonesia dari kata persatuan.

Sesungguhnya, tidak sedikit pula bangsa Indonesia yang sadar akan pentingnya melestarikan budaya berbahasa Indonesia. Ada banyak masyarakat Indonesia yang bahkan pergi keluar negeri untuk memerkenalkan bahasa Indonesia kepada penduduk dunia lainnya. Namun, hal lain yang juga disayangkan dalam fenomena ini ialah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagaimana mungkin, seseorang yang akan mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang non-Indonesia memiliki logat berbicara yang ke-bule-bule-an. Hal itu hanya akan membuat orang yang mempelajari bahasa Indonesia tersebut beranggapan bahwa bahasa Indonesia tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris yang juga mereka pelajari. Pertanyaan menggelitik yang tak henti-hentinya hilang dalam pikiran saya ialah, sesusah apa, sih, ngomong bahasa Indonesia yang baik dan benar?

            Kita sudah sepatutnya bersyukur karena hidup di era yang sudah tidak memerlukan perjuangan fisik melawan penjajahan seperti para pahlawan kita terdahulu. Namun, jangan dikira saat ini kita sudah terlepas dari yang namanya proses penjajahan. Di masa kini, penjajahan memiliki bentuk yang lebih mengerikan. Mereka bersifat laten, gaib, tak terlihat. Mereka ada di sekitar kita. Mereka dapat muncul dari berbagai tempat, bahkan tanpa kita sadari kita tengah berada dalam masa penjajahan tersebut, yakni penjajahan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Secara perlahan-lahan, jati diri kita sebagai bangsa Indonesia terhapuskan oleh banyaknya budaya asing yang kita konsumsi setiap harinya. Budaya asing yang kita lakukan setiap waktunya. Budaya asing yang sungguh tanpa kita sadari telah membuat kita durhaka pada para pejuang bangsa kita terdahulu. Mendurhakai Sumpah Pemuda dalam menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, misalnya.

Dalam memperingati hari lahirnya bahasa Indonesia yang ke-87 ini, sudah sepatutnya kita berbenah diri sebagai sebuah bangsa. Alangkah jauh lebih baik lagi jika berbenah tersebut dimulai dari diri kita sendiri. Mulailah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbanggalah menjadi penutur asli bahasa Indonesia. Tetap junjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.

 

 

Dea Adhista

Depok, di bulan yang sedang Oktober, tahun 2015 Masehi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun