Mohon tunggu...
dea almira
dea almira Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Bisakah Memiliki Rumah Tapak?

14 Desember 2015   09:21 Diperbarui: 14 Desember 2015   09:21 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur merupakan kota metropolitan yang dipadati oleh penduduk yang bermukim maupun pekerja yang hanya datang di siang hari. Luas wilayah Kota Surabaya ± 33.048 Ha, secara administratif terbagi dalam 31 kecamatan dan 160 kelurahan. Dengan total populasi mencapai 2,9 juta jiwa pada malam hari dan menjadi 5,6 juta jiwa pada siang hari menunjukkan bahwa Kota Surabaya sebagai pusat perekonomian di Provinsi Jawa Timur memiliki populasi yang tidak sedikit begitu pula dengan kebutuhan akan tempat tinggal.

Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030, kata Plh Deputi Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN Ida Bagus Permana. Membeludaknya populasi penduduk usia produktif diharapkan dapat sejalan dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan negara Indonesia. Jika populaasi penduduk sangat banyak dan luas wilayah Kota Surabaya tidak dapat bertambah maka pemanfaatan ruang harus dilakukan semaksimal mungkin.

Masyarakat Indonesia masih memegang tradisi bahwa rumah adalah dimana bangunan tersebut menapak pada tanah, memiliki halaman, dan memiliki atap. Alasan terbesar masyarakat membeli rumah tapak adalah untuk investasi, karena rumah tapak memiliki sertifikat hak milik yang jelas. Mengingat nilai tanah dipastikan akan terus naik mengikuti inflasi membuat rumah tapak akan terus memiliki pasarnya. Budaya tinggal di rumah menempel tanah selama ini menyebabkan masyarakat masih enggan untuk tinggal di bangunan vertikal. Dengan luas wilayah yang terbatas tidak dapat dipungkiri lagi pembangunan secara vertikal harus dilakukan. Mau tidak mau masyarakat harus mulai terbiasa dengan kondisi kota yang penuh dengan gedung pencakar langit.

Saat ini masyarakat yang bekerja di Surabaya lebih memilih untuk tinggal di daerah perbatasan dengan kabupaten lain, mengingat nilai tanah yang masih masuk akal. Namun dengan jauhnya jarak dengan pusat kota menjadi pertimbangan lain bermukim di pinggiran kota. Daerah perbatasan Kota Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik menjadi lokasi bermukim pekerja Kota Surabaya. Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik sebagai daerah penyangga Kota Surabaya memiliki andil dalam pemenuhan kebutuhan akan hunian para pekerja di Kota Surabaya. Pembangunan perumahan murah untuk para pekerja di kawasan penyangga kota menjadi bagian dari Program Sejuta Rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Program ini bertujuan agar pekerja dengan penghasilan menengah dan menengah ke bawah dapat memiliki rumah yang layak dan tidak membangun permukiman kumuh di tengah kota.

Dapat disimpulkan keadaan pembangunan permukiman di Kota Surabaya saat ini adalah pusat kota sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan hunian-hunian vertikal, sedangkan daerah pinggiran kota dan daerah penyangga kota sebagai lokasi permukiman horizontal. Pembangunan rumah tapak dapat dilakukan di daerah pinggiran kota dan daerah penyangga kota dengan nilai tanah yang dapat dijangkau oleh pekerja berpenghasilan menengah. Model rumah Town House di pusat kota menjadi altenatif pemanfaatan ruang di pusat kota, namun luas bangunan yang minim tersebut harus dibayar dengan harga tinggi karena lokasinya di pusat kota.

Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk ditambah dengan bonus demografi yang diproyeksikan akan menghampiri pada 2020 dapat di prediksi pusat kota tidak lagi dapat menampung hunian horizontal. Keadaan bonus demografi dimana penduduk usia produktif sangat banyak menunjukkan kebutuhan akan permukiman juga akan tinggi, karena penduduk usia produktif merupakan usia dimana penduduk mulai berkeluarga dan membutuhkan tempat tinggal yang berpisah dari orang tua. Opsi bagi keluarga masa mendatang adalah tinggal di pusat kota dalam hunian vertikal atau tinggal di daerah pinggiran kota dan daerah penyangga kota dengan hunian horizontal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun