Mohon tunggu...
Dea KharismaS
Dea KharismaS Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

:))

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mewujudkan Negara Ideal

2 November 2021   23:30 Diperbarui: 2 November 2021   23:30 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut Diponolo (1975: 23-25), negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atas suatu umat di suatu daerah tertentu. Diponolo menyimpulkan 3 unsur konstitutif yang menjadi syarat mutlak bagi adanya negara yaitu wilayah, rakyat, dan tata pemerintahan. Selain unsur konstitutif ada juga unsur lain yaitu unsur deklaratif (pengakuan dari negara lain). Namun bukan berarti terpenuhinya unsur-unsur tersebut menjadikan sebuah negara ideal, melainkan  agar mendapatkan status sah sebagai suatu negara. Pada dasarnya, negara dapat dikatakan ideal apabila negara tersebut yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan mencapai tujuan serta cita-cita negaranya. Setiap negara di dunia memiliki tujuan, cita-cita, dan identitas nasional yang berbeda-beda, oleh karena itu konsep negara ideal juga berbeda di setiap negara. Meskipun berbeda-beda, tetapi pada umumnya setiap negara pasti memiliki tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat dan memberikan keamanan bagi seluruh bangsa dan wilayah negaranya.

Cita-cita negara Republik Indonesia tercantum dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-2, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Sementara itu, Fungsi dan tujuan negara Republik Indonesia tercantum dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, yaitu "...melindungi segenap bangsa  Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan  kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan  sosial, ...". Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara ini sangat penting bagi pemerintah selaku penyelenggara negara, terbukti dari pembangunan nasional dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang terus dilakukan. Dengan besarnya tanggung jawab  tersebut, penyelenggara negara seharusnya tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Namun jika kita lihat realitanya, perilaku penyelenggara negara seringkali memunculkan rasa ketidakpercayaan di kalangan rakyat karena tingginya tingkat penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat negara, seperti praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain, sedangkan kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji, serta nepotisme yang berarti kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan di lingkungan pemerintahan. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme ini mengakibatkan jatuhnya reputasi pemerintah, memperlambat tercapainya tujuan nasional, bahkan hingga menyengsarakan rakyat.

Rakyat seringkali mengeluh dan tidak puas dengan keputusan penyelenggara negara dalam hal pembangunan nasional, salah satunya karena adanya kesenjangan hampir di berbagai bidang di berbagai daerah di Indonesia. Padahal kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan wajib pajak yakni rakyat itu sendiri yang masih rendah. Pajak merupakan pungutan dari negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan langsung (kontraprestasi). Penerimaan pajak dan pendapatan negara dari sektor-sektor lain akan diatur oleh penyelenggara negara guna memenuhi keperluan negara dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Namun disebabkan banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oknum pejabat negara, muncul pemikiran dalam rakyat bahwa uang penerimaan pajak tidak digunakan dengan semestinya, melainkan digunakan untuk keuntungan pribadi oknum-oknum tersebut sehingga rakyat enggan untuk membayar pajak. Berbagai cara dilakukan oleh rakyat untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan pada negara, baik melalui cara legal (tax avoidance dan tax planning) hingga cara yang melanggar ketentuan perpajakan (tax evasion). Hal tersebut tentunya merugikan negara karena memperkecil penerimaan negara.

Menurut Wakil Ketua Komite Pengawasan Perpajakan Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan, rasio pajak itu mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari total produk domestik bruto (PDB). Sehingga, besaran rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Jika dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang lainnya, rasio pajak Indonesia jauh lebih kecil, bahkan semakin merosot setiap tahunnya. Terakhir pada tahun 2021, rasio pajak Indonesia diperkirakan hanya mencapai 8,18%.  Berbeda jauh dengan negara-negara Skandinavia yang rata-rata memiliki tax rasio di atas 40%. Bahkan salah satu negara Skandinavia, yaitu Denmark, pada tahun 2021 menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB tertinggi  di Uni Eropa, dengan rasio pajak sebesar 46,1%.

Istilah negara Skandinavia merujuk pada kumpulan negara-negara yang terletak di wilayah Eropa Utara. Skandinavia secara umum digunakan untuk menyebut negara Norwegia, Swedia, dan Denmark. Berdasarkan Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) yang diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations), negara-negara Skandinavia selalu menempati daftar 10 besar negara yang paling bahagia sejak tahun 2012 hingga sekarang. Adanya kesetaraan ekonomi yang tersebar merata bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa perbedaan kualitas hidup yang ekstrim adalah salah satu faktor penyebab negara-negara ini memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Pemerintah di negara-negara tersebut terkenal memiliki kebijakan sosial yang murah hati dengan fasilitas umum seperti pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan, layanan transportasi publik, dan sebagainya yang semuanya gratis dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga semua orang menjadi lebih cerdas, toleran dan lebih puas dengan hidup mereka. Sebagian besar kebijakan sosial tersebut dibiayai dari pungutan pajak dari penghasilan penduduk. Tarif pajak yang ditetapkan oleh negara-negara Skandinavia dapat dikatakan sangat tinggi yaitu di atas 50% dari total penghasilan. Namun, rakyat tidak keberatan dengan tarif tersebut karena mereka mempercayai pemerintah untuk membuat kebijakan dan mengembalikan pajak yang telah dipungut dalam bentuk fasilitas-fasilitas demi kepentingan rakyatnya. Akan berbeda bila tarif pajak tersebut diterapkan di Indonesia, mungkin akan terjadi banyak unjuk rasa di berbagai daerah. Meskipun mengesankan, tetapi kebijakan-kebijakan negara Skandinavia akan sulit untuk dicontoh/diterapkan di Indonesia karena sistem pemerintahan yang berbeda serta penduduk Indonesia lebih heterogen dan kompleks sehingga lebih sulit untuk membangun kerja sama nasional. Terlebih lagi perlu adanya peningkatan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah untuk membentuk sinergi dan rekonstruksi pemerintahan yang juga tidak mudah untuk dilakukan.

Selain KKN dan masalah kepatuhan pajak, ada banyak permasalahan lain yang mendera Indonesia, seperti kemiskinan, masalah lingkungan, masalah penegakan hukum, terorisme, dan lain sebagainya. Sebenarnya sebagian besar masalah-masalah tersebut disebabkan oleh dekadensi moral masyarakat umum. Dekadensi moral merupakan suatu keadaan di mana telah terjadi kemerosotan moral yang bermakna bahwa individu maupun kelompok melakukan pelanggaran aturan serta tata cara yang berlaku di masyarakat. Salah satu faktor penyebab dekadensi moral adalah karena adanya keinginan yang untuk memperoleh lebih banyak penghasilan dan mempertahankannya untuk kepentingan sendiri. Kebanyakan orang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa memiliki keinginan tersebut. Namun apabila keinginan tersebut tidak dikendalikan, maka orang-orang akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pemerintah dan peran masyarakat luas untuk menangani dekadensi moral serta memperbaiki moralitas bangsa.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menangani dekadensi adalah dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup sejak usia dini hingga dewasa. Sehingga pemimpin-pemimpin di masa mendatang dapat mewujudkan cita-cita bangsa berdasarkan moralitas kepemimpinan yang baik. Pendekatan agama dalam pendidikan juga dapat menjadi solusi dalam meminimalisir dekadensi moral, karena tingkat keimanan seseorang menentukan kualitas moral individu. Pendidikan karakter (baik formal atau nonformal) dan menanamkan pola pikir anti korupsi juga dapat mengarahkan individu menjadi manusia yang bermoral.

Untuk mengatasi dekadensi moral di lingkungan pemerintah, yaitu dengan membentuk lembaga anti korupsi independen di setiap instansi pemerintah sehingga tiap instansi mampu menangani sendiri kasus-kasus korupsinya. Selain itu, pejabat-pejabat dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif seharusnya diwajibkan mengikuti pelatihan anti korupsi sehingga saat menjalankan tugasnya mereka telah mengetahui apa itu korupsi dan konsekuensi tindakan korupsi. Seharusnya pemerintah juga membuat kebijakan yang mengatur hukuman dimiskinkan bagi para koruptor agar mereka jera sekaligus menakuti calon-calon koruptor, karena mereka tamak maka pasti yang paling mereka takutkan adalah kehilangan hartanya.

Dengan perbaikan moral di kalangan masyarakat dan pemerintah, maka negara yang ideal dapat terwujud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun