Mohon tunggu...
Dea YuandaPutri
Dea YuandaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Medan

suka mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Medan

PARKIR KOK BAYAR? Fenomena Pungli di Minimarket dan Rendahnya Kesadaran AntiKorupsi

27 September 2025   22:45 Diperbarui: 27 September 2025   22:43 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Medan. Sumber ilustrasi: TRIBUNNEWS/Aqmarul Akhyar

Pernahkah Anda baru saja keluar dari Alfamart atau Indomaret, lalu tiba-tiba ada seseorang mendekat sambil menadahkan tangan, “Seribu, Bang”? Padahal, papan di depan toko jelas tertulis “Parkir Gratis”. Meski jumlahnya kecil, praktik ini ternyata bukan sekadar urusan receh. Ia adalah cermin dari budaya korupsi sehari-hari yang tanpa sadar kita biarkan hidup.

Minimarket, Belanja Mudah, Parkir Susah

Minimarket seperti Alfamart dan Indomaret lahir untuk memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejak akhir 1980-an, kedua jaringan ini berkembang pesat hingga mudah ditemui di kompleks perumahan, dekat kantor, bahkan di jalan besar. Pada dasarnya, konsumen tidak dikenai biaya parkir ketika berbelanja. Namun, kenyataannya banyak pengunjung tetap harus mengeluarkan uang karena ada “tukang parkir” yang hadir tanpa izin resmi.

Menurut wawancara dengan salah satu karyawan Alfamart, keberadaan tukang parkir liar itu sama sekali bukan kebijakan toko. Mereka hadir atas inisiatif pribadi dan tidak memiliki dasar hukum. Pengelolaan parkir resmi semestinya berada di bawah kewenangan Dinas Perhubungan dengan atribut dan karcis. Maka, penarikan uang parkir tanpa tanda resmi jelas bisa digolongkan sebagai pungutan liar (pungli).

Pungli: Bentuk Korupsi Skala Kecil

Korupsi sering kita bayangkan sebagai praktik “kelas kakap” yang melibatkan pejabat negara dan dana miliaran rupiah. Padahal, korupsi juga bisa hadir dalam bentuk sederhana, salah satunya parkir ilegal.

Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap tindakan memperkaya diri atau kelompok secara melawan hukum bisa disebut korupsi. Artinya, pungli di minimarket bukan sekadar “uang jasa”, tapi bagian dari perilaku koruptif di tingkat akar rumput.

Para ahli pun mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Robert Klitgaard menyebutnya sebagai perilaku menyimpang dari tugas resmi demi keuntungan status atau uang. Sementara Jeremy Pope menekankan bahwa korupsi terjadi ketika wewenang publik disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok. Dari perspektif ini, praktik parkir liar jelas memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang, meski bukan pejabat, melainkan dalam bentuk “kuasa semu” atas lahan parkir.

Dampak yang Tidak Boleh Diremehkan

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan dengan teknik wawancara, fenomena parkir liar tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga merusak citra minimarket. Sebagian pelanggan merasa enggan berbelanja karena tidak nyaman dengan adanya pungutan tambahan. Sementara itu, pihak toko pun dirugikan karena dianggap membiarkan praktik ilegal tersebut.

Dengan kata lain, korupsi skala kecil ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik maupun dunia usaha. Jika dibiarkan, ia menjadi benih budaya permisif: “asal kecil, asal biasa, biarkan saja.” Padahal, justru dari hal-hal kecil inilah mental koruptif tumbuh subur.

Membangun Kesadaran Antikorupsi

Kesadaran antikorupsi tidak cukup hanya tahu hukum. Lebih dari itu, ia adalah sikap moral untuk menolak penyalahgunaan sekecil apa pun. Fenomena parkir liar menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak yang memilih diam dan membayar, meski merasa dirugikan. Inilah tantangan besar: bagaimana mengubah budaya permisif menjadi budaya kritis?

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:

Edukasi sejak dini tentang bahaya pungli dan korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

Penguatan regulasi daerah terkait parkir agar jelas siapa yang berhak mengelola.

Penindakan tegas dari aparat terhadap pelaku pungli agar menimbulkan efek jera.

Kolaborasi masyarakat, aparat, dan pihak minimarket untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas pungli.

Praktik pungli di depan minimarket mungkin hanya bernilai seribu-dua ribu rupiah, tapi nilainya jauh lebih besar dalam hal budaya. Ia mencerminkan lemahnya kesadaran hukum, rapuhnya integritas, dan kuatnya budaya permisif di masyarakat.

Korupsi bukan hanya soal miliaran di gedung pemerintahan, tapi juga soal seribu rupiah di depan minimarket. Mari mulai dari hal kecil: berani menolak pungli, karena dari situlah budaya antikorupsi bisa tumbuh, hingga akhirnya tercipta masyarakat yang jujur, tertib, dan sesuai hukum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun