Syukurlah, wisuda sudah berjalan dengan lancar. Semua peserta dalam keadaan bahagia, usaha yang selama ini dilalui, sudah terbayar lunas. Toga sebagai buktinya. Mereka berfoto bersama. Mengabadikan momen bersama keluarga, bersama kekasih, bersama isteri, bersama kawan-kawan seperjuangan. Rona lelah belajar seakan sirna. Senyum, wajah cerah dan tawa , mereka ekspresikan dalam penggambilan gambar tersebut. Tak terkecuali, para juru foto ikut mengabadikan sambil berharap mendapatkan limpahan rejeki wisudawan.
Dan tak kuduga di antara wajah bahagia itu, aku mengenal sosok yang tak asing. Meski berkebaya dan menggunakan sanggul, tapi raut muka-nya cukup kukenal dengan baik. Dan benar, nama itu namamu. Nama yang dipanggil untuk maju menerima ijasah tadi. Ya, kamu, Dian, yang ku-ragu dan bertanya-tanya. Saat ini aku yakin, itu kamu. Setelah sekian lama kita tak bertemu setelah akhir renda asmara kita. Tak terasa sudah lebih dari sepuluh tahun. Dan di sebelahmu, ada sosok lelaki gempal berjas rapi dan gadis mungil berparas ayu. Kuduga itu pasangan hatimu dan keluarga kecilmu.
Di tempat ini/ Di tempat pertama aku menemukanmu/ Kembali kudatangi tempat ini/ Tapi ku dengan yang lain
Samar kudengar/ Suara yang s'lalu kukenal itu suaramu/ Kau terlihat bahagia bersamanya/ Dia kekasihmu yang baru
Aku pun terdiam/ Saat gadis kecil berlari ke arahmu/ Gadis kecil yang miliki mata indah
Persis seperti matamu
Aku pun tersenyum/ Dan kugenggam tangan wanita di sampingku/ (Dan kau genggam tangannya dan kau genggam tangannya)/ Dan berkata lirih di dalam hati (lirih hati)/ Tentang semua ini*)
***
“Kayak perangko”, ungkapan yang disampaikan teman-teman pada kita. Hampir setiap hari kulalui hari bersamamu. Selepas kuliah, hanya sekedar minum di kantin, kita selalu bersama. Sampai-sampai menunggu antar kuliah dengan jeda pagi hingga siang atau pun sore, kita lewatkan berdua di perpustakaan. Itulah hari-hari bersama Dian.
Memang banyak yang mengira hubungan kami mulus dan tak banyak gejolak. Di tengah kebersamaan kita berdua di mata banyak kawan. Bertahun memadu kasih, mencoba memilin, merenda dan menjahit banyak perbedaan, pandangan dan keyakinan. Sudah diusahakan disatukan dan dipadukan. Banyak hal yang sama di antara kita berdua sehingga kami bisa bertahan dengan waktu yang cukup lama. Namun, nyatanya, lebih banyak lagi beda yang mengemuka. Beda yang sangat prinsip.
“Bak mimi lan mintuna”, ini pandangan orang tentang kami berdua, yang seakan dapat mengesampingkan perbedaan. Semua dilalui dengan mulus dan lancar. Semua menganggap kita padu dan satu dalam memilin dan menjalin asmara. Rajutan yang tampak rapi dan kuat, nyatanya hanya semu adanya. Bertahun ditenun tapi faktanya hanya sekumpulan dan kesatuan benang, tak ada pola indah yang terbentuk. Banyak ruang kosong di antara benang itu dan mudah sekali terurai dan tergerai.
Di saat benang itu mulai mengendur, kita berhenti untuk menjalin. Lupakan sejenak dan padukan semua persamaan. Seakan lukisan dari benang penuh warna itu kembali memberi gambaran yang indah.