Mohon tunggu...
djarot tri wardhono
djarot tri wardhono Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis apa saja, berbagi dan ikut perbaiki negeri

Bercita dapat memberi tambahan warna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bakso Bontot

16 September 2019   11:07 Diperbarui: 16 September 2019   11:09 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Warung bakso yang terletak di pojok gang, di pinggir jalan, tidak begitu terlihat dibandingkan dengan warung bakso terdekat di pertigaan jalan yang sering aku lalui. Meski tak tampak warungnya, hampir setiap pekan, aku melangkahkan kakiku untuk duduk dan menikmati panasnya bakso kuahnya. Bakso yang rasanya lebih enak, lebih empuk dan lebih kenyal dibandingkan warung bakso terdekat.

Mbak Uma, begitu orang menyapanya. Dan bukan anak bontot sesuai nama warungnya. Dia lebih pasnya adalah kakang ragil, biasa orang jawa membahasakan kalau memang masing mempunyai adik. Dan adiknya, satu penjual bensin eceran tak jauh dari tempatnya berjualan. Satu adiknya lain, laki, seorang tukang gigi palsu. Tukang gigi, satu-satunya di pasar terdekat, tempat mbak Uma biasa membeli dan menggiling daging, bahan baku bakso daganganya. Entah kenapa, dia menamai warungnya, Bontot. Mungkin nama dagang yang lebih eyecatching, atau bisa jadi biar lebih diingat pelanggannya, entahlah, hanya dia yang tahu.

Seperti biasa, aku pulang lebih cepat dari biasanya, malah terlalu cepat. Karena matahari belum tergelincir di atas kepalaku. Rasanya, sejak aku berangkat, situasi mash gelap. Belum tampak semburat oranye di ufuk timur. Jadi langkah dari rumah sampai dengan pulangku yang cepat itu, serasa sudah lama. Mungkin aku baru lelah dengan suasana kantor, sehingga waktu berjalan lambat dan lama. Siang itu, di tanganku, jam berbalut kulit menunjukkan pukul sebelas lebih seperempat. Jadi memang pulangku terlampau, terlampau cepat.

Saat tiba di pintu masuk warung, ternyata mbak Uma masih membuat bakso dari tumpukan gilingan daging di baskom. Satu demi satu bulatan bakso meluncur dengan mudahnya di rebusan air mendidih di depan kakinya. "Maaf mas, baksonya belum siap, saya kesiangan berangkat ke pasar". "Begah perutnya, sejak semalam", begitu ia bertutur alasannya. "Mau nunggu, mas, atau datang sejam lagi?", katanya. "Nggak, mbak Uma, kutunggu aja", jawabku. Aku juga, ingin duduk sambil melihat aktifitas melihat bulatan-bulatan sambung menyambung lompat ke kolam panci besar nan panas.

Kuamati perlahan hingga mengundang lamunku. Khayalku kalau, aku bisa membuat butiran-butiran bakso, cari tempat beli rombong gerobak bakso, jadilah juragan bakso. Kuremas-remas, adonan daging dengan mencampur bubuk tempung, yang tak kutahu apa bumbu rahasia di dalamnya. Genggamanku di cacahan daging yang halus terasa dingin. Aku asyik membuat bulatan tak beraturan dan tak konsisten besarnya. Ada bulatan sebesar bola tenis, ada yang sekecil kerikil, banyak yang sebola pingpong. Tenang rasanya, diluar kepenatan jalan yang tiap hari kulalui. Butir-butir bakso beragam besar, menari-nari di dalam kubangan panci. Seakan memanggilku untuk ikut bergabung dengan mereka.

Tapi......saat kuakan menari, teriakan mengganggu langkahku tuk menari. "Mas, baksonya sudah siap, nanti dingin lho.....", mbak Uma setengah meninggikan suaranya, entah sudah berapa kali ia mengingatkanku. Bakso di depanku sudah mulai mendingin dan membuyarkan lamunku. Meremas daging, membuat bakso hanya khayalku di siang bolong itu. Dan mbak Uma, juga Bakso Bontot biarkan bergulir tanpa kuganggu dengan rencana lamunanku tadi.

Medan Merdeka, 16 September 2019, pagi yang cerah, dengan semangkuk bakso

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun