Mohon tunggu...
Dayu Rifanto
Dayu Rifanto Mohon Tunggu... Pengajar -

Pengajar, Pegiat Sosial. Blogger, Menyukai memasak. Pendiri @Bukuntukpapua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kalau Tidak Membaca Sekarang, Kapan Lagi?

2 Oktober 2015   18:30 Diperbarui: 2 Oktober 2015   18:40 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mulai senin lalu, 21 September 2015, Komunitas Suka Membaca (KSM) di Manokwari membuka perpustakaan komunitasnya untuk umum, 5 hari dalam seminggu, mulai hari senin sampai sabtu dari jam 4 sore – 8 malam. Wacana membuka rumah baca setiap hari, dengan koleksi beragam buku yang dapat dipinjam serta mengorganisasikan perpustakaannya dapat diakses untuk umum, membutuhkan semangat juga kesediaan berkorban di tengah narasi nasib banyak perpustakaan di daerah yang mangkrak.

Kok mau ya ?
Perpustakaan yang berlokasi di Kompleks Bumi Marina Asri Blok B no 17 Amban, Manokwari ini memiliki koleksi buku dengan jumlah kurang lebih 750 buah buku, kebanyakan adalah jenis buku fiksi. Untuk melengkapi koleksinya, mereka memulai mengumpulkan buku textbook atau handbook penunjang kuliah, juga buku – buku non fiksi, harapannya dengan keragaman buku, maka yang datang semakin banyak.

Komunitas yang berdiri sejak tahun 2013 ini telah meretas sebuah buku kumpulan cerita pendek (kumcer) pada tahun 2014 berjudul Impian di Tepi Bakaro. Bakaro sendiri adalah sebuah desa yang terkenal di Manokwari karena tradisinya, secara turun temurun, generasi ke generasi ada sebuah tradisi unik yang merupakan local wisdom diturunkan hingga menjadi pemandangan menakjubkan sekaligus menggetarkan : pemanggilan ikan dari lautan lepas menuju bibir pantai Bakaro. Jangan kaget, di Bakaro kalau melihat seseorang sedang meniupkan peluit di pinggir pantai sambil menepuk permukaan air sebagai penanda daerah tempat akan memberikan makan ikan – ikan yang datang, berarti ia sedang memanggil ikan (1).

Tapi nama desa itu hanya memberikan setting manokwari, dengan Bakaro sebagai penanda. Kumcer ini menurut Andi Tagihuma adalah luar biasa, sebab, 14 cerpen anak-anak Manokwari ini bercerita tentang kisah kehidupan sehari-hari dengan gaya bahasa Melayu Papua yang kental (2). Denga bergenre remaja, masih menurut Andi, selain terselip mop khas Papua juga mengingatkan dirinya pada majalah – majalah remaja antara tahun 1980 sampai dengan 1990. Karena itu, buku kumcer ini menggebrak, sebab ia termasuk sastra pinggiran, di luar mainstream dan di terbitkan secara indie. Seperti sastra dengan bahasa daerah di wilayah lainnya di Indonesia. Dengan kelolakannya, diharapkan dapat membawa satu pembaruan bagi perkembangan sastra dan bahasa Melayu Papua yang selama ini terpinggirkan.

Apresiasi terhadap Kumcer datang juga bulan April 2014 lalu, saat itu ada perhelatan Asean Literary Festival (ALF) di Jakarta. ALF adalah gelaran festival sastra yang pertama kali diselenggarakan untuk negara-negara Asia Tenggara. Festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Muara dan didukung Hivos dan Kementerian Luar Negeri dihadiri lebih dari 40 penulis, akademisi dan kritikus dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Myanmar, Vietnam, Timor Leste, China, Korea, Inggris, Australia dan Belanda. Sungguh beruntung, dalam bincang buku yang buat oleh komunitas Goodreads Indonesia di festival ini, dengan Windy Ariestanty (Editor in chief dan Direktur Penerbitan Gagas Media Grup) sebagai moderatornya, mereka menghadirkan buku Kumcer Impian di Tepi Bakaro untuk dibahas (3). Saat itu, selain Kumcer Impian di Tepi Bakaro ini, ada buku lain dengan tema Papua yang dibahas antara lain menghadirkan Aprila Wayar dengan buku barunya yaitu Dua Perempuan (2013), Melangkah ke Dunia Luas, sebuah buku tentang potret anak – anak yang bersekolah di SMU Adhi Luhur Nabire karya Johanes Supriyono.(4)

Takzim terhadap komunitas ini, apalagi dengan inisiatif terbarunya yang menohok, membuat saya penasaran ingin mengetahui lebih jauh kenapa David Pasaribu (38thn), pegawai PNS Pemprov Manokwari juga founder dari komunitas Suka Membaca di Manokwari ini, bersama teman – temannya di KSM bersikeras mau melakukan hal ini. Akhirnya, David berkenan menjawab beragam pertanyaan dari saya melalui surel

Bang, apakabar ? jadi sekarang ini yang mau membaca di perpustakaan KSM hanya boleh membaca di tempat kah ?

Kabar baik, komunitas Suka Membaca Manokwari sendiri baru saja pada awal september ini berkumpul lagi, setelah sebelumnya masing – masing sibuk dengan aktivitasnya. Saat kumpul kemarin banyak volunteer yang sedang menyusun skripsi dan merasa kesulitan mencari referensi.

Dari hal ini membuat inpirasi baru, untuk mencari buku – buku referensi bagi mahasiswa utamanya dengan jurusan pendidikan. Buku – buku jenis ini dapat dibaca di tempat, dan tidak bisa dibawa pulang. Dan karena itu, maka kami pikir baik jika membuka untuk umum perpustakaan komunitas untuk umum. Selain itu karena rumah atau lokasi perpustakaan komunitas kami ini lumayan dekat dengan kampus UNIPA, jadi harapannya bisa membantu teman – teman mahasiswa jika ingin menelusuri referensi atau sekedar membaca dan berteman.

Karena saya sibuk bekerja sebagai PNS, maka yang bergantian menjaga saat hari kerja adalah teman – teman komunitas. Yang sekarang sudah siap menjaga adalah Era Ristiana, dia bendahara di KSM, sekaligus mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Papua.

Kalau untuk buku – buku non fiksi hanya bisa dibaca di tempat dan tidak bisa dipinjam ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun