Sangat mudah menerima dan mencintai mereka yang mirip dengan kita, tetapi mencintai seseorang yang berbeda itu sangatlah sulit, dan engkau telah menolong kami untuk melakukannya. (Luis Sepuvelda)
Buku berjudul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang, setebal 89 halaman dan terbitan Marjin Kiri, saya beli, baca, lalu donasikan ke taman baca kecil yang kami kelola di Sorong, Papua Barat Daya. Ketertarikan saya muncul dari sampulnya yang kocak: seekor kucing besar dan gemuk berhadapan dengan seekor camar.
Gambar camar pada sampul itu mengingatkan saya pada buku Jonathan Livingston Seagull yang pernah saya baca di kos seorang teman saat kuliah di Jogja, karena tertarik pada ilustrasi burung bernuansa gelap. Cerita dalam Kisah Seekor Camar menghadirkan tokoh-tokoh hewan yang bisa berbicara , dan bukan sekadar bicara, mereka juga jago mengumpat!
Sebenarnya, yang paling membuat saya penasaran adalah ingin tahu seperti apa buku-buku dari penerbit Marjin Kiri, yang terkenal menerbitkan karya-karya penulis Amerika Latin. Penulis Kisah Seekor Camar, Luis Seplveda, adalah salah satu penulis ternama asal Cile. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari empat puluh bahasa, mengantarkannya meraih berbagai penghargaan internasional.
Seplveda lahir pada 1949 dan sejak muda aktif dalam dunia politik, mulai dari bekerja sebagai awak kapal Greenpeace hingga terlibat dalam berbagai kampanye lingkungan hidup. Salah satu karyanya yang tersedia dalam bahasa Indonesia berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, juga diterbitkan oleh Marjin Kiri. Sayangnya, ia meninggal dunia pada 16 April 2020 akibat Covid-19.
Dalam buku tipis ini, kita akan berkenalan dengan tokoh-tokoh hewan dengan nama-nama keren tak biasa, seperti Kengah sang camar, Zorbas, Kolonel, dan Secretario yang semuanya adalah kucing. Di mana, cerita dibuka dengan keadaan bahaya, saat rombongan camar sedang mencari ikan tetapi mereka tidak memperhatikan tumpahan minyak di lautan.
"Bahaya! Jangan terbang rendah! Lepas landas darurat segera!"Â teriak camar lain, namun Kengah , yang tengah lahap menyantap ikan haring keempatnya , tidak mendengarnya saat gelombang laut bercampur minyak menghantamnya.
Kengah, burung camar dengan bulu sewarna perak, akhirnya menceburkan kepalanya ke dalam air berulang kali, menendang-nendangkan kakinya, berharap bisa berenang cepat dan lepas dari lapisan hitam itu.
Manusia ternyata tidak selalu bijaksana, ingat Kengah dari pengalamannya. Dari ketinggian, ia sering melihat kapal-kapal tanker minyak besar mencuri kesempatan untuk menguras tangki mereka di tengah laut, menumpahkan ribuan liter cairan kental nan berbau ke lautan. Jadi, bukan minyak tumpah, tapi mereka menumpahkannya. Haish!
Noda hitam itu menutupi segalanya. Sembari menanti ajal. Ajal yang bisa datang dari serangan ikan-ikan besar atau karena sesak akibat minyak yang menyumbat porinya. Meski begitu Kengah tetap berjuang. Namun keajaiban datang tepat pada saat terakhir; dengan tenaga terakhir, ia berhasil terbang menuju pelabuhan Hamburg.