Mohon tunggu...
Dayu Rifanto
Dayu Rifanto Mohon Tunggu... Dosen - @dayrifanto | Menulis, membaca dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mahasiswa S3 Pendidikan Masyarakat. Fasilitator, penulis dan penggerak literasi. Mengelola inisiatif literasi, pengembangan kapasitas diri dan perpustakaan anak. Surel dayurifanto@gmail.com | linktr.ee/dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi dan Emosi Anak

14 Oktober 2021   16:07 Diperbarui: 14 Oktober 2021   16:14 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kids photo created by wirestock - www.freepik.com

Begitu keluar dari sebuah toko di Sorong, saya bersitatap dengan seorang anak lelaki. Ia tampak gugup berusaha tersenyum pada saya, sesekali menggaruk tangannya, dan dengan segera berjalan mengambil semacam alas penghalang sinar matahari, dari jok motor. Tak jauh darinya, ada sang bapak yang bertugas menjadi penjaga parkir di toko tersebut. 

Dari perawakannya, anak itu sepertinya berusia 7-8 tahun. Masih dalam usia sekolah, tetapi sudah harus menemani sang ayah bekerja, atau juga sebenarnya sedang bermain dengan teman -- temannya yang lain, di dekat tempat ayahnya bekerja, bisa jadi. Ingatan tentangnya membuat saya berpikir, jangan -- jangan ia tak bisa sekolah karena tak punya alat bantu yang bisa memudahkannya belajar di rumah, atau apakah sebenarnya putus sekolah ?

Pandemi yang berkepanjangan, tentu saja menghadirkan serta menyuguhkan beragam persoalan ke hadapan kita. Banyak hal yang terkena dampak dari pandemi ini. Misalnya banyak usaha yang menyiasatinya dengan pengurangan karyawan, bahkan sampai usahanya tutup. Berakibat banyak orang kehilangan pekerjaannya. Bayangkan saja, apa yang terjadi dengan mereka yang sebelum pandemi sudah kesusahan.

Pada lingkup terkecil, di keluarga, ada banyak sekali problem yang hadir. Mengacu pada artikel the conversation, angka KDRT di Indonesia meningkat sejak pandemic Covid - 19. Masa Pandemi mendorong  adanya perubahan beban kerja rumah tangga dan pengasuhan, pengeluaran cenderung bertambah dan kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan dan mengakses belajar yang optimal, terutama menjadi pendamping belajar bagi anak, begitu kesimpulan dari laporan komnas perempuan.

 Beragam masalah ini pada level rumah tangga di saat pandemi, ternyata membawa dampak pada literasi dalam keluarga. Sebagaimana pendapat dari Jenny Nordman, profesor dalam bidang membaca dan literasi dari Regis University, Denver. Ia menyatakan bahwa "meskipun kontrol emosi mungkin tidak berada di urutan teratas ketika menggambarkan karakteristik pembaca yang efektif, dampak regulasi emosional (mengelola emosi) tidak boleh diremehkan. 

Faktanya, penelitian telah menemukan bahwa siswa yang lebih mampu mengendalikan perilaku mereka, terampil pada keaksaraan awal lebih cepat dibandingkan mereka yang masuk sekolah dengan keterampilan sosio-emosional yang lemah. Sebaliknya, emosi negatif telah ditemukan memengaruhi kecepatan pemrosesan, memori, konsentrasi, pemantauan diri, dan perhatian, yang semuanya merupakan keterampilan kognitif yang terhubung dengan keberhasilan membaca"

 Seandainya situasi rumah merupakan hal yang membuat anak tidak merasa nyaman dan itu memicu emosinya negatif, seperti yang kita ketahui, emosi negatif akan memengaruhi keterampilan kognitif ; ia akan menurunkan kecepatan berpikir, konsentrasi dan perhatian. Sedangkan hal -- hal ini juga berhubungan dengan kemampuan membaca anak. 

Dolf Ziliman, ahli psikologi dari Universitas Alabama menemukan bahwa pemicu amarah (emosi negatif) adalah perasaan terancam bahaya. Dan ancaman ini dapat dipicu bukan saja oleh ancaman yang bersifat fisik secara langsung, tetapi juga yang sifatnya simbolis seperti yang berkaitan dengan harga diri, diperlakukan tidak adil, dicaci maki maupun diremehkan. Ancaman ini menjadi pemicu bekerjanya otak primitif dengan pilihan berpikir yang semakin sempit antara melawan atau menghindar dari sebuah masalah. 

Pada masa anak -- anak, perkembangan otak akan melalui tiga tahapan tahapan, yaitu mulai dari otak primitif (action brain), otak limbik (feeling brain), dan akhirnya ke neokorteks (thought brain). Ketiganya saling berkaitan dan mempunyai fungsi masing -- masing. Otak primitif mengatur fisik untuk bertahan hidup, mengelola gerak refleks, mengendalikan gerak motorik, memantau fungsi tubuh, dan memproses informasi yang masuk dari pengindraan. 

Otak limbik memproses emosi dan sebagai penghubung otak pikir dan otak primitif. Sedangkan otak pikir, yang merupakan bagian otak yang paling obyektif, menerima masukan dari otak primitif dan otak limbik. Namun, ia butuh waktu lebih banyak untuk memproses informasi dari otak primitif dan otak limbik. Otak pikir juga merupakan tempat bergabungnya pengalaman, ingatan, perasaan, dan kemampuan berpikir untuk melahirkan gagasan dan tindakan.

Sumber : Dayu Rifanto
Sumber : Dayu Rifanto

 Seperti yang kita tahu, agar anak menyukai membaca dan memiliki kebiasaan membaca, maka perlu akses buku bacaan beragam di sekolah, di masyarakat melalui perpustakaan daerah, perpustakaan kampung, atau perpustakaan dan taman baca masyarakat. Juga ada aktivitas -- aktivitas menarik minat anak dan menyenangkannya untuk mendorongnya membaca, di mana saja. 

Tapi tak cukup di sana, karena penting sekali ia pun dibentuk untuk suka membaca sedari rumah. Tentu ini semua adalah kondisi ideal, bagaimana jika kondisinya tak ideal, yang membuat anak belum sampai memiliki minat membaca, tetapi bahkan membaca saja, ia kesulitan.

Bagi anak -- anak yang memiliki kesulitan membaca, tentu saja ia menjadi mudah frustasi, jika tidak dibimbing dengan baik. Rasa frustasi ini dapat menyebabkan kecemasan yang meningkat pada diri anak, dan ujung -- ujungnya, hal ini berpengaruh pada harga dirinya. Dan bayangkan, jika anak -- anak juga mendapakan tambahan kesulitan karena mengalami kekerasan di dalam rumah, akibat dampak pandemi berkepanjangan.

Ingatan akan anak itu, hadir kembali. Ia macam membawa kesadaran baru, bahwa situasi pandemi membuat mereka yang rentan secara ekonomi, semakin susah. Dengan dampak ikutan yang luar biasa, dan menyadarkan saya bahwa satu masalah disebabkan oleh akar masalah lainnya yang berkelindan dan tak mudah diurai satu demi satu. 

Walau begitu, saya tetap memimpikan bahwa anak -- anak bisa berada dalam lingkungan yang kaya akan buku dan bacaan, serta didukung orang tua yang membuatnya merasa aman, nyaman dan merasa dicintai terlebih dahulu. 

Dan para orang tua ini juga merasa nyaman dan tenang, karena tahu bahwa daerahnya mendukung perkembangan anak -- anak mereka, dalam rangka menumbuhkan kebiasaan membaca dan belajar sepanjang hayat.


Tiga anak berkerumun
Tertegun melihat ramai orang
Pada sebuah warung
Penuh dengan orang makan

Ibu, bolehkah sa mengambil sisa ini?
Ucap anak berambut kemerahan
Meminta roti hampir basi
Yang tak habis sedari kemarin

Segenggam remahan ia terima
Segera berubah menjadi pelangi
Membawa ceria melupakan derita
Saat senja di sore hari

Lalu anak-anak pun pulang
Membawa bahagia dalam saku bajunya
Melupakan sedih yang kerap berulang
Sebelum bermimpi indah nanti malam

Sorong, 14 Oktober 2021
Dayu Rifanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun