Beberapa pekan terakhir, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) kembali dilanda banjir. Hujan deras yang mengguyur tanpa henti, sistem drainase yang kurang optimal, serta tingginya laju urbanisasi menjadi faktor utama yang menyebabkan air meluap ke permukiman warga. Tak hanya merendam ribuan rumah, banjir juga menghambat mobilitas masyarakat, merusak infrastruktur, dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang tak sedikit.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa curah hujan di Jabodetabek beberapa waktu lalu mencapai kategori ekstrem, memperparah kondisi daerah yang memiliki sistem tata kelola air yang masih bermasalah. Sungai-sungai yang melintasi Jakarta, seperti Ciliwung dan Pesanggrahan, meluap akibat tingginya debit air yang tidak tertampung dengan baik. Ditambah lagi, deforestasi di daerah hulu dan minimnya daerah resapan air membuat masalah ini semakin kompleks.
Belajar dari Belanda: Negeri di Bawah Permukaan Laut
Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut, Belanda memiliki tantangan besar dalam mencegah bencana banjir. Namun, dengan perencanaan matang dan inovasi teknologi, mereka berhasil membangun sistem pengelolaan air yang efektif.
Salah satu langkah besar yang dilakukan Belanda adalah proyek Delta Works, sebuah sistem raksasa yang mencakup bendungan, pintu air, dan tanggul untuk mengendalikan pasang surut laut. Selain itu, mereka menerapkan konsep Room for the River, yaitu memberikan ruang bagi sungai untuk meluap secara alami dengan membangun area penampungan air dan memperluas bantaran sungai. Konsep ini berbeda dengan pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan peninggian tanggul atau penguatan kanal.
Tak hanya itu, Belanda juga mengembangkan kota dengan perencanaan tata ruang yang berbasis ketahanan air, seperti rumah terapung floating houses dan daerah resapan air yang lebih banyak. Kesuksesan Belanda dalam mengatasi ancaman banjir tidak lepas dari kombinasi kebijakan yang tegas, investasi dalam infrastruktur, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan air.
Perbandingan dan Solusi untuk Jabodetabek
Jika dibandingkan dengan Belanda, permasalahan banjir di Jabodetabek lebih banyak disebabkan oleh buruknya tata kelola air dan urbanisasi yang tidak terencana dengan baik. Jakarta dan kota-kota sekitarnya masih bergantung pada sistem drainase lama yang sering kali tersumbat sampah, serta minimnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Sebagai langkah solutif, Indonesia bisa meniru pendekatan Belanda dengan mulai membangun sistem pengelolaan air yang lebih terintegrasi, seperti:
Meningkatkan kapasitas dan efektivitas waduk serta bendungan.
Menata ulang tata ruang kota agar lebih adaptif terhadap banjir.
Mengembangkan daerah resapan air dan green infrastructure di perkotaan.
Menerapkan konsep Room for the River dengan memberikan lebih banyak ruang bagi sungai agar tidak meluap ke pemukiman.
Mendorong inovasi seperti rumah apung atau sistem drainase berbasis teknologi.
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga ekosistem sungai.
Jika tidak segera diatasi dengan langkah strategis, banjir di Jabodetabek akan terus menjadi ancaman tahunan yang semakin memburuk. Belajar dari Belanda, bukan berarti menyalin sistem mereka secara mentah-mentah, tetapi menyesuaikannya dengan kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, inovasi teknologi, dan peran aktif masyarakat, harapan untuk menanggulangi banjir bukanlah hal yang mustahil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI