Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bro and Sis, Rugi Menikah Saat Pandemi

18 Juli 2020   09:04 Diperbarui: 18 Juli 2020   13:40 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (AFP/scmpc.om)

Perkawinan sejatinya merupakan awal bahagia bersatunya dua insan manusia untuk menjadi satu keluarga baru. Sejak zaman dahulu hingga modern, perkawinan biasanya dirayakan dengan pesta meriah. Undangan dari pihak mempelai perempuan pun dari pihak laki-laki akan hadir memberikan selamat dalam pesta tersebut. Suasana sukacita yang terpancar dalam pesta ini. 

Baru-baru ini saya mendapat kabar dalam grup Whatsapp, adanya pesta perkawinan yang terselenggara pada PSBB transisi. Kabar duka terselip paska pesta sukacita ini. Mengapa? Ternyata ibu dari mempelai perempuan positif Covid-19, dan tak lama meninggal dunia. Sontak semua yang hadir ke pesta panik, lalu ramai-ramai swab test. Ngeri kan kalau ini terjadi. Lalu si mempelai sendiri jatuh sakit paska acara pesta, untungnya bukan karena terinfeksi Covid-19. 

Prosesi perkawinan seringkali menjadi hal yang sangat melelahkan. Saya membagikan pengalaman dulu saat menikah dalam acara adat Batak di Sumatera Utara.

Bayangkan bahwa kedua pengantin harus sudah selesai 'make up' di pagi hari. Sekitar jam 5 bersiap untuk berangkat ke salon pilihan. Lalu jam setengah 7 sudah berpakaian rapi, kembali ke rumah untuk prosesi berangkat ke rumah mempelai perempuan. Lalu jam setengah  8 sudah tiba di rumah mempelai perempuan memulai prosesi sarapan, doa bersama, dan ritual singkat sebelum jam 9 berangkat sama-sama ke Gereja tempat kami diberkati. Prosesi di Gereja selesai jam 12, dilanjutkan foto bersama. Kemudian lanjut ke gedung resepsi. Makan siang disana, lalu dilanjutkan dengan adat perkawinan batak, hingga selesai jam 7 malam. 

Bayangkan betapa lelahnya prosesi marathon tersebut. Semua orang kelelahan pastinya. 

Jika sudah lelah begitu, bagaimana pengantin mau menikmati malam pertama keduanya seranjang. Yang ada ya teler bersama di malam itu. Haha

Rasanya semua lelah meski kadarnya beda-beda. Bagi pengantin baru mungkin sukacita yang ada mengalahkan rasa lelah. Namun bagaimana dengan orangtua, saudara terdekat yang turut mengurusi persiapan pra perkawinan, hari h, dan setelahnya.. Mereka tentu pun kelelahan. Dengan adanya pandemi ini semuanya dilakukan dengan rasa was-was. Tidak sepenuhnya lagi sukacita. Mungkin malah merasa terpaksa juga. 

Kok menikah pada masa pandemi ini rugi? Coba kita bahas sama-sama, ini beberapa pihak-pihak utama yang 'dirugikan':

  • Orangtua pengantin: Biasanya orangtua itu paling sukacita saat menikahkan anaknya. Disitu kesempatannya untuk mengundang para sahabat kolega nya bertemu kembali dalam suasana bahagia. Ini pula kesempatan baginya untuk menerima kembali balasan 'amplop' yang selama ini dia berikan kepada para sahabat dan kolega yang sudah duluan berpesta dan dihadirinya. 
    Amplop Kawinan (tribunnews)
    Amplop Kawinan (tribunnews)
    Dengan masa pandemi ini, tentu jumlah undangan menjadi sangat terbatas, bahkan belum tentu yang diundang hadir. Berkuranglah jumlah amplop yang didapat. Padahal seringkali amplop ini juga diharapkan sebagai penyokong dana pesta. Seringkali momentum resepsi atau adat ini menjadi semacam reuni keluarga besar orangtua yang mungkin sudah terpencar di berbagai kota. . Hanya bisa bertemu kembali pada momen pesta perkawinan anak masing-masing.

  • Keluarga besar pengantin: Tentu keluarga besar akan berkumpul bahagia jika ada anggota keluarga yang menikahkan anaknya. Seringkali kompak membuat seragam agar fotonya nanti bagus hasilnya. Nah, jika tetap diadakan pesta nikah, mungkin mereka tidak hadir juga. Kalaupun hadir mungkin tidak lengkap yang datang. Jadi kurang meriah juga kan.

Ilustrasi foto keluarga besar (hipwee/infospecial)
Ilustrasi foto keluarga besar (hipwee/infospecial)
  • Tamu undangan: Menerima undangan hajatan pernikahan menjadi dilema bagi pihak yang diundang. Disatu sisi tentu senang, masih diingat dan diundang oleh sahabat/kolega yang akan berpesta. Jika situasi normal tentu dia senang hati hadir dengan pakaian terbaiknya, juga memberikan kado atau amplop terbaiknya juga. Namun dalam situasi pandemi, undangan ini jadi membuatnya susah hati. Ngeri dengan adanya peluang terkena covid-19 karena acara yang ramai. Bisa jadi dengan berat hati memilih tidak datang. Lalu dengan kondisi ekonomi yang sulit seperti ini, amplop yang diberikan juga sekedar saja. Kurang elok juga menanyakan nomor rekening untuk transfer 'angpau'.

  • Pengantin : Mirip dengan orangtuanya, momen pesta perkawinan menjadi kesempatan juga untuk mengundang para sahabat lama, kolega kantor, untuk bisa bersukacita  dalam pesta. Ini pula ruang baginya untuk menerima kembali balasan 'amplop' yang selama ini dia berikan kepada para sahabat dan kolega yang sudah duluan berpesta. Kurang nyaman juga misal mencantumkan nomor rekening atau barcode untuk transfer angpau. Ya kan. Pengantin juga kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengan keluarga besar. Entah keluarga besar masing-masing yang sudah lama tidak bertemu, juga kehilangna kesempatan bertemu keluarga besar pihak suami atau pihak istri. Belum lagi foto-foto yang nanti ada dalam album perkawinan menjadi 'aneh'. Banyakotang yang tidak bisa dikenali karena sebagian wajah tertutup masker. Kurang afdol rasanya.

Meski demikian, ada juga yang berpendapat. Tetap sajalah menikah dan pesta adat dilaksanakan. Toh mau orangnya banyak atau sedikit yang hadir, itu kan sama-sama adat yang sah juga. 

Ada juga yang berpendapat, ya bagus lah, dengan pandemi begini bisa lebih hemat pesta perkawinannya. Yang hadir kan sedikit, tidak perlu menyewa gedung besar, tidak perlu pula menyiapkan konsumsi bagi orang banyak. 

Nah, ini kembali berpulang pada pengantin dna keluarga inti. Apakah sebaiknya menunda menikah. Atau mungkin prosesi pernikahan sipil dilakukan lebih dulu, lalu nanti setelah pandemi berakhir barulah dilaksanakan resepsi ataupun adat perkawinan. Mengingat bagi masyarakat yang memegang teguh adat sosial hal itu tetap penting. Misalnya jika Islam, mungkin Izab Kabul dulu, atau yang Kristen diberkati di Gereja, yang penting sudah sah dan bisa didaftarkan di Catatan Sipil. Sedangkan resepsinya diadakan nanti setelah situasi aman. 

Pikir-pikir lagi ya bro and sis yang ngotot mau menikah saat pandemi gini. Salam

Ilustrasi (dreamstime)
Ilustrasi (dreamstime)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun