Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kecil-kecil Cabai Rawit, Covid-19 Paksa Dunia Membumi

22 April 2020   07:28 Diperbarui: 22 April 2020   09:21 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Langit biru Jakarta pasca Covid-19, medcom.id)

22 April setiap tahun diperingati sebagai Hari Bumi (Earth Day). Hari ini kembali menjadi momentum untuk gerakan masyarakat berperilaku ramah lingkungan. Pertama kali, Earth Day ini diadakan pada tahun 1970, lima puluh tahun yang lalu, dua puluh juta warga Amerika yang geram akan kualitas udara yang memburuk, ramai-ramai turun ke jalan. 

Mereka menuntut udara yang bersih bebas polusi dan perlindungan lingkungan hidup. Gerakan sadar lingkungan ini mendorong lahirnya undang-undang dan hukum perlindungan lingkungan di Amerika. Pada tahun 2016, pada momentum Earth Day ini, Paris Agreement ditandatangani. Dunia bersepakat menjaga bumi dengan mengurangi emisi karbon masing-masing negaranya.

Kali ini, pemimpin sepongah Donal Trump, yang sebelumnya hanya mementingkan perekonomian dan tidak pro lingkungan, pun akhirnya tersadar. Udara kotor yang selalu dihirup warga Amerika menambah kerentanan terhadap infeksi Covid-19 ini. Terbukti wilayah yang kualitas udaranya buruk, di sanalah korban terinfeksi banyak ditemukan. Lombardy, suatu kota di Italia dengan kualitas udara terburuk di Eropa mengalami tingkat kematian tertinggi dari Covid-19. Wuhan, enam bulan sebelum pandemi terjadi, melakukan protes terhadap udara yang kotor di sana.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setidaknya tujuh juta orang meninggal setiap tahun karena sakit pernafasan. Orang yang tiap hari menghirup udara kotor berisiko tinggi mengalami kanker paru-paru, infeksi pernafasan, sakit jantung dan diabetes. Dengan adanya pandemi Covid-19, jika mereka ini terpapar, maka imunitas tubuhnya tidak kuat melawan virus tersebut, jadilah dia korban.

Studi menunjukkan bahwa orang yang tinggal pada lingkungan berudara kotor berisiko kematian 84% lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan udara yang lebih bersih. Kota-kota di Amerika seperti New York, San Fransisco, Seattle merupakan kota dengan polusi udara tertinggi, disana korban Covid-19 lebih banyak. Sedangkan kota lain seperti Maine, Vermont, dan Hawaii, korban terinfeksi Covid-19 hanya sedikit.

Indonesia pun mengalami hal mirip. Tingkat kematian akibat Covid-19 ini ternyata sangat berkolerasi dengan kualitas udara. Pulau Jawa misalnya, yang menjadi sentra industri, mengalami tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Kota besar misalnya Jakarta, pada data 21 April, terkonfirmasi 3.260 pasien terpapar Covid-19, kontras dengan Kupang yang hanya 1 pasien. Secara kasat mata, tentu kita setuju bahwa udara yang dihirup di Kupang lebih bersih daripada udara Jakarta yang sering dikritik pengamat lingkungan.

Tentu variabel penyebab tingginya korban di kota besar ini juga tidak terlepas dari mobilitas warganya yang aktif bepergian. Namun, perlu diingat bahwa Covid-19 ini menyerang sistem pernafasan. Jika udara yang kita hirup bersih, sehatlah kita.

Mengingat saya berkecimpung meneliti bagaimana merancang seluruh listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan, maka saya terus mendorong transisi energi fosil menjadi energi terbarukan. Transisi ini perlu diawali dengan perubahan paradigma masyarakat, dan Covid-19 ini mempertegas perlunya mengalihkan pandangan pada listrik energi terbarukan. 

Sudah waktunya bersihkan kembali udara dari polusi pembangkti fosil.  Percepatan kendaraan listrik tampak semakin penting dilakukan, agar tidak lagi polusi pembakaran BBM di jalanan.  Listrik dari energi air, panas bumi, angin, bioenergi, dan surya tersedia melimpah di bumi ini. Listrik energi surya yang tidak lagi mahal, nyatanya melimpah di bumi Indonesia, mari kita manfaatkan sebesar-besarnya.  

Selama pandemi Covid-19, langit Jakarta tampak biru. Beramai-ramai masyarakat memotret dan mengunggah di media sosial. Hal yang tampaknya tidak mungkin terjadi, malahan terjadi saat wabah virus ini melanda. Sebagian besar orang berdiam di rumah masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun