Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Masyarakat Adat Nusantara

14 Agustus 2014   23:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya Afrida Erna Ngato. Ia sering dipanggil Afrida. Permpuan bergelar Sangaji Pagu itu adalah Kepala Suku Pagu. Suku adat Pagu berada di Halmahera Utara dan tersebar di 5 kecamatan 13 desa. Alfrida Erna Ngato, adalah sosok yang gigih membela hak-hak masyarakat Suku adat Pagu .
Bagi masyarakat adat tanah lelulur bukan saja merupakan sumber-sumber kehidupan. Tanah leluhur adalah identitas. Di tanah lelulur itulah melekat budaya dan sistem sosial. Tak terkecuali bagi masyarakat adat Pagu.

Namun seringkali berbagai proyek pembangunan, seperti tambang dan perkebunan skala besar, justru menggusur mereka dari tanah-tanah yang telah menjadi identitas sosialnya. Hal yang sama juga terjadi di masyarakat adat Pagu. Di Pagu, menurut Alfrida, pemerintah, memberikan izin kepada sebuah perusahaan tambang tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan suku adat Pagu. Padahal perusahaan tersebut berdiri di atas tanah adat.

Setelah perusahaan tambang itu beroprasi, banyak masalah yang ditimbulkannya. Mulai dari pencemaran lingkungan hingga kriminalisasi masyarakat adat. Dalam kondisi seperti itulah Alfrida memimpin sebuah perlawanan untuk mengembalikan lagi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alamnya yang terancam oleh industri tambang.

Persoalan konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat bukan hanya terjadi di Halmahera Utara. Beberapa daerah di Indonesia juga terjadi konflik serupa. Dan seringkali masyarakat adat menjadi korban dari konflik lahan tersebut.

Sebuah penelitian Rights and Resources Initiative yang  berjudul “Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies” mengungkapkan bahwa sedikitnya 56.102 ha lahan adat di Kalimantan mengalami tumpang-tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit.

Apakah konflik lahan antara perusahaan dan masyarkat adat akan terus berlangsung di era pemerintahan baru? Presiden terpilih Jokowi dalam visi, misi dan program aksinya menyatakan komitmennya untuk memajukan perlindungan hak-hak masyarkaat adat. Tentu saja dalam hal ini adalah hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam di atasnya.

Komitmen Jokowi ini bukan hal yang sulit untuk dilaksanakan. Pasalnya, beberapa kebijakan telah dimunculkan pada era pemerintahan sebelumnya yang berpihak pada masyarakat adat. Beberapa kebijakan itu salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 atas permohonan Judicial Review (JR) atas Undang - Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 pada hakikatnya menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Dengan berbekal keputusan ini pengakuan atas hutan adat mendapatkan payung hukum baru.

Presiden terpilih Jokowi, jika sudah berkuasa, hanya butuh keberanian untuk mengimplementasikan putusan MK tersebut. Termasuk menyesuaikan semua peraturan yang terkait dengan kehutanan dengan putusan MK tersebut. Kenapa dibutuhkan keberanian dalam mengimplementasikan putusan MK ini?

Hal itu dikarenakan ada kekuatan modal besar, yang seringkali juga memiliki kekutaan politik, yang berkepentingan agar putusan MK terkait hutan adat itu tidak bisa dijalankan. Mereka ingin masyarakat adat tetap tersingkir dari hutannya, sehingga investasi mereka di sektor perkebunan skala besar dan pertambangan bisa dengan leluasa mendulang keuntungan.

Pertanyaan penting berikutnya adalah apakah Jokowi tidak lupa terhadap komitmennya untuk masyarakat adat nusantara? Pada bulan Desember 1994 silam, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan bahwa tanggal 9 Agustus lalu, merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Fokus Tema Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada tahun 2014 ini adalah : “Menjembatani Jarak:Implementasi Hak-Hak Masyarakat Adat”.

Tema peringatan hari masyarakat adat sedunia itu cocok sekali dengan komitmen Jokowi saat kampanye pilpres lalu terkait masyarakat adat. Meskipun hari masyarakat adat sedunia sudah berlalu, tidak ada salahnya bila di bulan Agustus ini Jokowi memberikan pidato yang kembali menegaskan komitmennya terhadap kepentingan masyarakat adat. Akan lebih menarik bila pidato itu disampaikan pada saat tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Beranikah Jokowi menegaskan komitmennya untuk masyarakat adat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun