Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

G30S dan Memori Kolektif Anak Sekolah di 90-an

15 September 2020   11:45 Diperbarui: 15 September 2020   11:48 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi anak sekolah, baik itu SD hingga SMA,  pada tahun 1990 an, bulan September adalah salah satu bulan yang selalu membekas dalam ingatan. Bagaimana tidak, setiap bulan September selalu saja muncul 'drama' yang cukup menengangkan di sekolah. 'Drama' menengangkan itu kemudian ditutup dengan nobar (noton bareng) sebuah film. Setelah itu 'drama' untuk sementara selesai, tapi akan muncul lagi di bulan September tahun depannya.

'Drama' apakah itu? Ya, bagi anak sekolah di 1990 an, di bulan September selalu aja ada desas-desus ditemukannya anak sekolah yang menyimpan gambar palu arit. Kedua perkakas kerja itu merupakan barang haram bila digambar secara bersamaan. Perkakas kerja tukang dan petani itu dianggap sebagai simbol PKI (Partai Komunis Indonesia). Bahkan, hingga kini kedua perkakas itu masih haram bila digambar bersamaan. 

Desas-desus ditemukannya siswa yang menyimpan gambar palu arit itu kemudian ditindaklanjuti dengan razia besar-besaran di sekolah. Biasanya razia itu melibatkan aparat setempat, baik polisi maupun TNI (dulu disebut ABRI). Bagi kami yang sekolah di tahun 1990-an selalu mendapatkan doktrin bahwa PKI itu jahat. 

Mereka membunuh ulama. PKI tidak punya agama. Serangkaian label kejahatan dilekatkan pada tiga huruf P-K-I. Kejahatan demi kejahatan itulah yang kemudian menjadikan simbol-simbol PKI dilarang di negeri ini. Termasuk gambar perkakas kerja palu dan arit. Saya, dan mungkin juga anak-anak sekolah 1990-an harus menerima doktrin itu semua.

Razia buku di sekolah melibatkan guru dan aparat membuat suasana sekolah tegang. Kami, saling bertanya-tanya, siapa kawan kita yang menjadi simpatisan PKI dengan menyimpan gambar perkakas kaum tani dan buruh itu? Namun, ketegangan itu akan diakhiri dengan nobar film G30S/PKI. Nobar dilakukan di Balai Desa. Stasiun televisi pun wajib menanyangkan film itu. Biasanya, saya ketiduran melihat film dengan durasi lebih dari 2 jam itu.

Bukan hanya itu, pernah di bulan September, ada tugas dari sekolah untuk membuat kliping koran tentang kekejaman PKI Madiun. Kebetulan saat itu ada sebuah koran di Jawa Timur yang menurunkan pemberitaan secara bersambung tentang pemberontakan PKI Madiun. Ngeri dan tentu saja menambah kebencian terhadap organisasi yang bernama PKI itu.

Waktu berlalu, hingga di pertengahan 1990-an, saya mulai membaca banyak buku dengan narasi yang berbeda tentang peristiwa Madiun 1948 dan G30S 1965. Dalam peristiwa Madiun 1948 misalnya, ternyata peristiwa itu bukan pertikaian antara PKI melawan Islam, meskipun benar ada banyak orang Islam yang menjadi korban. 

Dalam buku, 'Madiun 1948: PKI Bergerak', misalnya diungkapkan bahwa peristiwa peristiwa 1948 justru diawali dengan saling culik antara anak buah Musso (PKI) dan kelompoknya Tan Malaka (salah satu tokoh komunis yang pernah menjadi Komitern/Komunis Internasional). Belum lagi konflik antara laskar dan satuan-satuan tentara waktu itu. Jadi peristiwa Madiun tidak bisa dibaca dengan bacaan tunggal bahwa itu adalah konflik Komunis VS Islam.

Peristiwa 1965 juga sama. Bahkan peristiwa G30S versi pemerintah Orde Baru sulit diterima akal sehat. Bagaimana tidak, rejim militer Orde Baru mengklaim menyelamatkan Soekarno dari pemberontakan PKI. Atas dasar itu kemudian PKI sebagai pihak tertuduh dibubarkan dan dibersihkan. Namun, ironisnya, setelah pemberontkan, yang katanya dilakukan PKI, digagalkan, Soekarno justru tidak selamat. Soekarno justru dijatuhkan dari kursi kepresidenan dan dijadikan tahanan politik oleh rejim Orde Baru. 

Anak sekolah 1990-an telah terlanjur menerima narasi sejarah versi Orde Baru. Sejarah yang ditulis untuk kepentingan kekuasaan rejim Orde Baru bukan untuk generasi berikutnya mengambil pelajaran. Paling tidak tulisan saya ini bagian dari testimoni dari anak-anak sekolah di erah 1990 an yang pernah menerima pelajaran sejarah yang sarat dengan kepentingan politik penguasa saat itu. Jangan sampai politisasi sejarah itu terulang kembali pada generasi sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun