Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Akankah Hutan Tumpang Pitu Kita Lupakan?

5 Oktober 2017   12:19 Diperbarui: 5 Oktober 2017   15:39 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyuwangi, kabupaten di ujung timur  Jawa Timur ini ternyata memiliki keindahan alam yang luar biasa. Keindahan alam itu ada di Tumpang Pitu. Gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang mungkin adalah salah satu hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Bayangkan saja, di tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan P. Jawa tinggal 11 persen. 

Sebagaimana layaknya hutan pada umumnya, hutan di kawasan Tumpang Pitu memiliki fungsi ekologis bagi masyarakat sekitar. Bila kemudian fungsi ekologis itu hancur maka keselamatan masyarakat sekitar yang akan menjadi taruhannya. Dan itu nampaknya pernah terjadi di Tumpang Pitu pada 2016 silam. Masih ingat banjir lumpur di kawasan wisata Pantai Pulau Merah Banyuwangi?

Pantai Pulau Merah, salah satu destinasi wisata di Kabupaten Banyuwangi pada 2016 silam dilanda banjir lumpur. Akibatnya, air pantai yang biasanya terlihat bening menjadi keruh dan coklat. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Banyuwangi, Chusnul Khotimah, seperti ditulis kompas.com pada waktu itu menyatakan ada dugaan banjir lumpur di kawasan wisata itu  karena pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur di Gunung Tumpang Pitu yang posisinya bersebelahan dengan Pulau Merah. Banjir lumpur ini tak hanya berpengaruh buruk terhadap denyut pariwisata pantai Pulau Merah (sebuah tempat wisata yang berada di kaki Gunung Tumpang Pitu), tetapi juga berdampak pada pertanian. Kurang lebih 300 hektar ladang jagung mengalami gagal panen.

Pembukaan lahan dan pembangunan infrasturktur di Tumpang Pitu? Apa sebenarnya  terjadi di Tumpang Pitu?

Ternyata, pemerintah berkeinginan untuk mengalihfungsi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Lho, bagaimana ceritanya, sebuah kawasan lindung dijadikan areal tambang? Memang benar menurut Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan secara jelas melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung, termasuk tentu saja hutan lindung di Tumpang Pitu. Tapi larangan itu nampaknya tidak menyurutkan segelintir pemilik modal untuk menambang di kawasan lidung Tumpang Pitu.

Bagaimana caranya? Mudah, yaitu dengan menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) menjadi hutan produksi. Melalui surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut --II/2013 Menteri Kehutanan, pemerintah menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi.  Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu tidak tanggung-tanggung, seluas 1.942 hektar. Singkatnya, pola perusakan alam di Tumpang Pitu adalah menurunkan status hutan lindung ke hutan produksi. Dari hutan produksi kemudian dialihfungsikan lagi menjadi kawasan pertambangan.

Satu lagi hutan di Pulau Jawa yang akan hancur. Bila tahun 2006, FWI mengungkapkan hutan di Jawa tinggal 11%, mungkin dengan alih fungsi kawasan hutan Tumpang Pitu menjadi areal tambang, hutan di Jawa akan semakin menyusut. Keselamatan penduduk di Jawa pun akan terancam. Jawa benar-benar kolaps.

Warga di Banyuwangi sebenarnya tidak tinggal diam dengan adanya ancaman kerusakan alam di Tumpang Pitu. Mereka melakukan perlawanan. Namun, alih-alih didengarkan dan diajak dialog. Suara warga Banyuwangi yang menginginkan kelestarian alam di Tumpang Pitu justru dibungkam dengan cara kill the messenger (membunuh si pembawa pesan). Apa lagi itu? Kill the messengeradalah salah satu cara untuk menghancurkan para pembawa pesan bukan memperdebatkan isi pesan yang disampaikan. Dalam kasus di Tumpang Pitu kill the messengerdilakukan dengan cara memberikan label komunis pada pihak-pihak yang ingin kelestarian alam Tumpang Pitu tetap terjaga.

Cara itu mengingatkan kita pada era Orde Baru di saat menundukan perlawanan petani terhadap proyek utang Bank Duni di Kedung Ombo. Pada saat itu pemerintahan otoriter Orde Baru memberikan stigma bahwa daerah Kedung Ombo dulunya adalah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Dengan stigma itu persoalan inti dari penolakan petani menjadi tenggelam. Persoalan yang muncul adalah basis PKI. Dukungan publik pun diharapkan tergerus dengan stigma PKI itu. Maklum di Indonesia hantu PKI memang dipelihara dan sewaktu-waktu dapat dipanggil bila diperlukan untuk mengalihkan persoalan dan juga membungkam suara masyarakat.

Kini, nasib hutan di Tumpang Pitu dipertaruhkan. Akankah Tumpang Pitu akan tetap menjadi hutan yang lestari atau akan dilupakan karena sudah menjadi areal pertambangan? 

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun