-----------
Setelah lulus SD, abang beradik itu kembali lagi dari Pinding ke kampung Gajah Mati.
***
Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima, pasangan suami istri itu amat senang sekali karena pada tanggal dua puluh lima bulan Juni kedua putra kembarnya telah lahir. Terasa terobati rasa lelah Sakinah mengandung selama ini melihat kedua anaknya selamat dan sehat walafiat. Satumin sang yang sedang menunggu di luar rumah ketika mendengar tangis anaknya ikut senang atas kelahiran anaknya. Tidak pernah terlintas di hati dan pikirannya akan punya anak kembar, jangankan mengecek kandungan istrinya setiap dua bulan sekali, bisa pergi membawa istrinya ke rumah sakit saja pun amat mustahil bisa dia lakukan melihat ekonomi dan jarak tempuh yang cukup jauh, nun jauh di sana, tak tertembus oleh mata, di balik gunung Gajah Mati sana! Baginya rumah sakit hanyalah buat orang-orang yang berbaju dinas, berpendidikan tinggi, bukan untuknya yang hanya seorang petani cokelat dan kemiri.Â
Tidak hanya itu, kalau pun ia punya uang hasil panen cokelat dan kemiri, tidak lah seberapa, kadang hanya cukup untuk makan dan membeli minyak tanah saja. Jauh terperosok ke pelosok, tidak ada listrik, lampu teplok adalah andalan keluarganya.
Rumah di sekitarnya pun tidaklah banyak, tidak sampai lima belas rumah. Satu-satunya orang yang disebut mampu di kampung Gajah Mati tempat tinggal mereka adalah pemilik kedai, warung yang menjual kebutuhan harian.
Jika ditempuh dengan kendaraan roda dua, setidaknya menghabiskan tiga jam lebih perjalanan untuk bisa sampai ke kampung di bawah sana, Muara Situlen nama kampung itu atau sebaliknya dari Muara Situle ke Gajah Mati, sungguh jauh! Kalau berjalan kaki, dua hari dua malam baru lah tiba. Sumringah Sakinah melihat kedua putranya telah berhasil dia lahirkn dengan selamat,
"Yang abangnya kita beri nama, Adi, Kinah." kata suaminya. Kinah panggilan dari Sakinah.
"Bagus betul namanya, Bang. Terus yang adeknya ni?"
"Yang adek namanya Edi."Â
"Bagus, Bang."