Ketika muncul keinginan awak "Merdeka," ingin mengadakan pertemuan melepas rasa rindu di antara sesama, apakah ini merupakan keinginan baik dari generasi terakhir Grup Merdeka yang dulunya berkantor di Jl.AM Sangaji 11 Jakarta Pusat?
Mengapa saya berpikir demikian? Karena yang hadir nantinya sudah tentu awak "Merdeka," yang sudah berusia setengah abad, atau lebih. Siapa yang nantinya mengingatkan, bahwa pada 1 Oktober 1945, lahir sebuah koran bernama "Merdeka," dengan kop warna merah darah dan slogannya "Berpikir merdeka, bersuara merdeka, hak manus merdeka."
Saya teringat Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI). Di sana berkumpul para veteran pejuang, veteran yang usianya sedikit lebih muda dari veteran pejuang. Usuanya sudah tentu 70 an, karena ketua umumnya sekarang sudah berusia jelang 93 tahun, yaitu Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin. Tetapi di LVRI sudah siap kader yang menggantikannya, yang boleh dikatakan menggantikan yang sudah berusia lanjut, yaitu perwira-perwira pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi untuk peralihan generasi para Alumni Sangaji 11 ?
Istilah Grup Merdeka, karena di Jalan AM Sangaji 11 ini pernah terbit, harian pagi "Merdeka," koran mingguan "Minggu Merdeka," suratkabar berbahasa Inggris "Indonesian Observer," majalah berita bergambar "Topik," dan majalah untuk ibu, bapak dan anak "Keluarga."
Grup Merdeka ini menjadi legenda, karena konsisten menerapkan kebijakannya, terutama harian "Merdeka," yang konsisten mengikuti garis politik BM Diah. Tahun 2006, saya menulis Tesis S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Sejarah berjudul: "Harian Merdeka Sebuah 'Personal Journalism' B.M.Diah (1945-1996)." Tahun 1996 itu, tepatnya hari Senin, 10 Juni 1996 adalah hari meninggalnya BM Diah.
Temuan kajian dalam tesis saya tersebut, adalah bahwa harian "Merdeka," salah satu surat kabar perjuangan yang khusus berbicara mengenai politik. Sejak lahirnya, harian "Merdeka," sangat konsisten melakukan garis politik hingga pendirinya meninggal dunia.
Pada awal tahun 1950-an, muncul istilah "Personal Journalism," sebagai corak jurnalistik yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda. Istilah ini begitu lekat pula pada harian "Merdeka," sehingga nama "Merdeka," tidak dapat dilepaskan dari nama pendirinya B.M.Diah. Sebaliknya , nama B M. Diah tidak dapat dilepaskan dari nama harian "Merdeka," yang didirikan dan dipimpinnya.
Pada waktu ini hanya BM Diah yang mampu memahami ke arah mana surat kabarnya berjalan. Inilah ciri khas dari harian "Merdeka," yang tidak dapat ditemukan di surat kabar perjuangan semacamnya. Bagi masyarakat pers, tentu bisa melihat kelebihan dan kekurangan dari "personal journalism," yang diterapkan di harian "Merdeka" sejak 1945 hingga 1996. Kelebihan dan kekurangan sudah tentu dapat dijadikan masukan berharga bagi perkembangan pers Indonesia di masa-masa mendatang.
Era pers perjuangan sudah berakhir. Dilanjutkan ke era pemerintahan Soeharto. Sekarang berada di era reformasi. Surat kabar mengalami kemajuan yang pesat. Jacob Oetama yang mendirikan harian "Kompas" dan juga memiliki anak perusahaannya di berbagai daerah, maka ada beberapa media lain di masa BM.Diah yang masih eksis. Contoh harian "Pos Kota," di mana Harmoko, anak didik BM Diah masih terus menulis.