Sebagai orang yang sama-sama menggeluti dunia pers, pada tahun 1991, saya bertemu Aristides Katoppo di kantornya, harian "Sinar Harapan." Waktu itu, saya meminta pendapatnya mengenai pandangan dan kehidupan wartawan kawakan Burhanudin Mohamad (BM) Diah. Saat itulah saya mengenal Aristides Katoppo, wartawan senior harian "Sinar Harapan," tersebut.
Pada tanggal 14 Maret 2018 nanti, usia Aristides Katoppo genap 80 tahun. Tetapi gaungnya sudah terdengar sejak dini. Ia dikenal sebagai wartawan yang konsisten dengan cita-citanya menjadi seorang jurnalis hingga usia senjanya. Hanya dikarenakan sejak surat kabarnya berhenti terbit pada 1 Januari 2016, ia pun tidak mampu menerbitkannya kembali karena dunia jurnalistik berbentuk surat kabar kalah bersaing dengan media internet.
Lelaki kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara yang memimpin surat kabar "Sinar Harapan," sejak 27 April 1961 ini, tiga kali bersinggungan langsung dengan saya. Pertama, ketika saya menulis buku: " Butir-butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman," (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992). Kedua, ketika menulis buku: "Gunawan Satari, Pejuang, Pendidik dan Ilmuwan," (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994) dan ketiga, ketika saya menulis buku: "Saddam Hussein, Menghalau Tantangan," (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1998).
Jika di dalam buku : "Butir-butir Padi B.M.Diah," saya mewawancarai Aristides Katoppo dan menuliskannya di dalam sub bab buku yang saya susun itu di halaman 353-356. Di buku ini, ia mengaku mengenal B.M.Diah secara tidak langsung, karena perbedaan usia sangat jauh.
"Saya mengenal B.M.Diah ketika mulai menggeluti dunia kewartawanan yang waktu itu namanya sudah dikenal di dunia pers...Ketika terjadi dua kepengurusan PWI, B.M.Diah dan Rosihan Anwar, ia mengaku memihak Rosihan Anwar. Tetapi B.M.Diah kepada saya seperti biasa. Begitulah B.M.Diah, orangnya ramah dan tidak mendendam," ujar Aristides Katoppo.
Ketika akan menerbitkan buku saya di Perpustakaan Sinar Harapan, berjudul: "Gunawan Satari," di mana waktu itu masih di bawah kendali Aristides Katoppo, hubungan saya dengan Aristides Katoppo bertambah baik. Hanya ketika akan menerbitkan buku: "Saddam Hussein, Menghalau Tantangan," saya melihat muncul sedikit riak-riak kecil antara saya dan Aristides Katoppo.
Permasalahannya, buku yang saya tulis sebagai pesanan Duta Besar Irak untuk Indonesia, Dr Sa'doon al-Zubaydi. Boleh jadi sikap duta besar yang pernah jadi penterjemah bahasa Inggris untuk Presiden Irak Saddam Hussein ini ketika berkunjung ke Sinar Harapan, sedikit tidak berkenan oleh Aristides Katoppo, sehingga berdampak terhadap hubungan saya dengan Aristides Katoppo.
Namun demikia, untuk itulah, menyambut ulang tahun Aristides Katoppo ke-80, saya juga secara pribadi mengucapkan selamat ulang tahun.