“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu, kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (H.R. Muslim, no. 6925)
JIka kita pahami hadits di atas, jelas bahwa perzinahan mutlak terjadi, dan realitasnya memang demikian. Akhir dari berbagai jenis perzinahan itu adalah zina dalam makna umum, yakni melakukan hubungan kelamin bukan dengan pasangan syah. Perbuatan zinah yang dilakukan dengan transaksi ekonomi itu disebut pelacuran, dengan pelacur sebagi pihak yang melayani yang saat ini dihaluskan menjadi pekerja sex komersial, artinya melakukan hubungan sex untuk mendapatkan bayaran.
Akhibat dari perbuatan ini jika dilihat salah satu hadits Rosul, dimana jika ada yang berzinah, maka radius 40 rumah tidak berkah. Maka jika para PSK dari lokalisasi yang telah dibubarkan "Praktek Mandiri" di rumah masing masing, maka penyebaran ketidak berkahan meluas. Hal ini sudah barang tentu akan berbeda manakala dilokalisasi, yang berarti cuma radius 40 rumah dari lokalisasi itu yang kena ketidak berkahannya.
Jika diibaratkan penyakit kanker, lokalisir dimaksudkan untuk mecegah penyebaran kanker meluas ke seluruh tbuh pasien, lokalisir dimaksudkan ketaplasia kanker ke organ tubuh lain. Lokalisasi dimaksudkan untuk mencegah pelacuran merambah secara masif di pemukiman-pemukiman yang sesuai hadis Rosul akan mengakhibatkan akan mengahibatkan masifnya ketidak berkahan.
Lokalisasi yang ada tidak pernah didirikan untuk sengaja menyediakan pelayanan sex sebagaimana dibunya restoran, warung makan, mall dsb yang sengaja dibuka untuk menarik pembeli. Sebaliknya lokalisasi didirikan untuk mengisolasi realitas pelacuran yang ada dari interaksi dengan masyarakat sekitarnya. Isolasi pelacuran dalam bentuk lokalisasi semestinya dipandang sebagai upaya memibinalisir pengaruh negatif pelacuran yang realitasnya ada sesuai suplay and demand.
Realitas hampir di semua belahan dunia terdapat pelacuran, dengan segala variasinya, tidak hanya melibatkan mereka yang "kekurangan sehingga termaksa" menjadi pelacur, tetapi juga melibatkan kaum elit sekalipun, yang mendapat fasilitas pelacuran yang aman, nyaman dan tersamarkan.
Jika ada berfikir tentang melokalisir pelacuran dalam sebuah tempat Lokalisasi itu jangan diartikan sebagai mendukung perzinahan, tetapi coba lebih dianggap sebagai upaya membatasi infiltrasi pelacuran ke tengah-tengah kehidupan masyarakat yang justru akan mengakibatkan dampak yang lebih luas, termasuk ketidakberkahan masif di sebuah masyarakat.
Pembubaran suatu lokalisasi tanpa bergikir bagaimana jika mereka justru beredar di daerah tak terbatas, hanyalah akan mendatangkan dampak buruk yang tidak terbatas pula. Di satu sisi, mereka yang memang "butuh jasa PSK" bisa mengancam untuk melampiaskannya bukan pada mereka yang meamng PSK, di sisi lain PSK yang telah keluar dari lokalisasi, dapat menjadi arus bah yang dapat mengalir kian kemari dengan membawa dampak negatifnya.
Oleh karena itu, penutupan lokalisasi karena dampak buruknya karena lokalisasi itu ada di tengah pemukiman penduduk harus disertai berbagai jalan keluar untuk mencegah damapk negatif lebih luas akhibat penutupan Lokalisasi itu. Pemindahan lokalisasi ke tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat bahkan yang lebih teroisolir boleh jadi dapat dilakuan. Namun bagi para "pelanggan" yang pada umumnya lebih memilih kemudahan, maka ancaman penyaluran bukan pada PSK, mungkin pada para "cabe cabean" bisa saja terjadi. Inilah yang juga harus dipikirkan.