Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Sebuah Negara-Bangsa yang Dibentuk dengan Sengaja

23 Januari 2018   10:00 Diperbarui: 23 Januari 2018   10:13 4701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [Ilustrasi aciimov.deviantart.com]

Lahirnya gagasan politik Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa tidaklah muncul secara tiba-tiba, alamiah, maupun pemberian Tuhan secara cuma-cuma. Melainkan dilatarbelakangi upaya sadar dan sengaja yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. 

Setidaknya terdapat dua faktor konstan yang selalu hadir menyertai kelahiran semangat kebangsaan semacam itu, yakni daya dorong (push) dan kekuatan penarik (full). 

Demikianlah ide dasar yang disampaikan oleh Herry B Priyono dalam Kongres Pancasila pada 2009 lalu di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Herry memberi contoh Timor Leste dan Palestina. Kedua negara tersebut tidak menjadi negara-bangsa hanya dari kehendak para pemimpinnya, sebagaimana mereka juga tidak begitu saja muncul hanya dari permainan situasional cuaca politik, ekonomi, hukum, maupun kultural yang sedang terjadi.

Dari kesaksian para pendiri Indonesia, pola itu juga terlihat dari bagaimana para pemimpin nasionalis seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang sama-sama menghendaki kemerdekaan (push), akan tetapi mereka juga bersitegang tentang caranya (kooperasi atau nonkooperasi), dan mengenai pencarian momentum surutnya petualangan imperium Jepang di Asia Pasifik serta potensi Belanda masuk kembali untuk menguasasi wilayah-wilayah Indonesia (pull).

Dengan demikian, sebuah negara bangsa tidak muncul ataupun dibarui hanya dengan kehendak dan kesengajaan (push), sebagaimana sebuah negara bangsa juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum dan sebagainya (pull).

Saat ini secara fisik negara-bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun Herry melihat daya kehendak dan kesengajaan itu kian tersisih oleh dua gelombang besar, yakni fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.

Pada gelombang fundamentalisme agama, terdapat keinginan menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan negara-bangsa, baik itu politik, hukum ekonomi, budaya, pendidikan, relasi sosial, sampai cara berpakaian serta perkawinan.

Apabila dikembalikan pada konsensus dasar para pendiri bangsa, maka agenda tersebut bisa dibilang sebagai agenda sesat. Sebab, Indonesia dibentuk bukan berdasarkan kehendak dan kesengajaan prinsip agama, ras, atau kesukuan, tetapi atas dasar prinsip yang bersifat civic (warga negara). Artinya, Indonesia merupakan negara-bangsa yang modern, di mana keanggotaannya tidak hanya didasarkan pada prinsip kewarganegaraan.

Adapun gelombang fundamentalisme pasar menghendaki mekanisme pasar sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan masyarakat (anarkisme pasar). Sehingga kemudian tatanan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh harga dan daya beli masyarakat. Hal ini tentu juga sangat bertentangan dengan prinsip dibentuknya Indonesia yang mengutamakan hak dan kewajiban setiap warga negara, bukan daya beli dan konsumsi.

Apabila ditinjau dari aspek panca gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan), gagasan Herry dalam makalah tersebut sangat relevan untuk melihat bagaimana kondisi dinamis bangsa Indonesia dari sejak awal dibentuk sampai era sekarang ini.

Sejak mula dibentuk, Indonesia ternyata telah berada dalam kepungan berbagai macam ideologi seperti kapitalisme, komunisme, dan keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Kondisi tersebut masih berlangsung hingga hari ini. Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara masih saja dirongrong, di antaranya yang masih hangat belakangan ini adalah oleh Hizbut Tahrir Indonesia. 

Dalam kehidupan politik, sistem demokrasi kita juga semakin liberal dan korup, baik dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Penyakit tersebut kemudian juga berimbas pada corak perekonomian nasional yang lebih pro kepada para pemilik modal.

Belum lagi persoalan sosial budaya, bangsa Indonesia kian hari semakin kehilangan identitas sosial kebudayaannya sebagai bangsa yang komunal dan gemar bergotong royong. Tergantikan oleh budaya individualistis dan apatis. Sementara itu, kondisi pertahanan dan keamanan negara Indonesia juga masih lemah untuk ukuran sebuah negara besar. 

Kebijakan Publik Berjiwakan Pancasila

Menghadapi dua gelombang besar tersebut, di sinilah sangat dibutuhkan panduan ideologis negara dalam memainkan perannya, yakni Pancasila. Namun sebagai sebuah cita-cita, Pancasila sering dipandang kurang praktis. Terlalu mengawang-awang dan kurang bisa dioperasionalkan. Namun, bukan memang selalu demikialah sifat suatu cita-cita? 

Ya, karena nantinya akan ada instrumen tersendiri yang akan mengoperasionalkan cita-cita tersebut secara lebih nyata. Dalam hal ini Pancasila kemudian diwujudkan dalam rupa kebijakan publik, yang dibuat dan dilaksanakan terutama dengan mata sasaran untuk mengelola arus berbagai pengejaran kepentingan diri individual para warga agar mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa.

Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan politik yang tinggi dari para penyelenggara negara untuk dapat melahirkan  kebijakan-kebijakan publik yang lebih sesuai dengan cita-cita dibentuknya Indonesia; berjiwa Pancasila, beragakan UUD 1945, berbingkaikan NKRI, dan dalam ikatan harmonis Bhiennika Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun