Ruang kelas pernah menjadi simbol keheningan yang penuh makna, Â deretan bangku, papan tulis kapur, dan suara guru yang memandu pelajaran hari itu. Namun, seiring waktu bergulir, dinding kelas tak lagi cukup menampung semesta pengetahuan yang terus berkembang, begitu besar dunia pengetahuan. Smart Classroom hadir bukan hanya sebagai perpanjangan teknologi, tetapi sebagai transformasi cara kita memaknai proses belajar itu sendiri.
Jika dulu pendidikan ibarat peta kertas yang menunjukkan arah secara sederhana, kini Smart Classroom menjelma menjadi sistem navigasi seperti GPS, lebih adaptif, real-time, dan mampu menyesuaikan jalur sesuai dengan kebutuhan setiap individu. Anak-anak tumbuh dikelilingi oleh layar sentuh, video interaktif, dan akses informasi tak berbatas. Maka ruang belajar pun dituntut untuk tidak hanya mengakomodasi, tapi mengilhami.
Konsep Smart Classroom tak berhenti pada deretan alat canggih. Ia merupakan ekosistem belajar yang menyatukan papan tulis interaktif, sistem audio-visual, perangkat pribadi seperti tablet, serta platform digital yang dikenal dengan istilah Learning Management System (LMS). LMS sendiri adalah ruang maya tempat guru dan siswa berinteraksi, berbagi materi, mengerjakan tugas, bahkan berdiskusi. Di sini, pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru semata, melainkan pada dinamika kolaborasi yang terjadi dalam dan luar kelas.
Manfaatnya tak sedikit. Siswa kini dapat belajar secara mandiri, mengakses materi dari berbagai penjuru dunia, dan mengeksplorasi informasi dengan cara yang lebih menyenangkan. Simulasi, animasi, dan video tak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga memperluas pemahaman secara visual dan emosional. Menurut MarketsandMarkets (www.marketsandmarkets.com/Market-Reports/educational-technology-ed-tech-market-1066.html), pasar global EdTech dan Smart Classroom diperkirakan akan tumbuh dari USD 125,3 miliar pada 2022 menjadi USD 232,9 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 13,2%. Angka ini mencerminkan betapa besar kepercayaan dunia terhadap teknologi pendidikan sebagai masa depan pembelajaran.
Namun seperti kendaraan pintar yang tetap membutuhkan jalan yang baik dan pengemudi yang terlatih, Smart Classroom juga menghadapi tantangan. Tidak semua sekolah memiliki akses internet yang stabil. Belum semua guru memiliki kepercayaan diri menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Dan masih ada kesenjangan digital yang membuat anak-anak di daerah terpencil tertinggal dari rekan-rekannya di kota.
Di panggung dunia, Korea Selatan telah menerapkan program SMART Education sejak lebih dari satu dekade lalu, menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis gaya belajar dan menyesuaikan materi sesuai kebutuhan siswa. Di sisi lain, Finlandia mengintegrasikan teknologi sederhana dalam kelas berbasis proyek, menumbuhkan kreativitas dan kolaborasi sebagai nilai utama. Sementara India membuka kelas virtual bagi siswa di daerah rural, membuktikan bahwa teknologi bisa menjembatani akses pendidikan.
Indonesia pun mulai melangkah. Beberapa sekolah di Jawa Barat telah mengadopsi pendekatan berbasis Internet of Things untuk pendidikan vokasional yang langsung terhubung dengan industri. Di Sumatera Utara, sebuah sekolah negeri yang semula tertinggal berhasil meningkatkan keterlibatan siswa berkat penggunaan Android TV dan pelatihan guru berbasis digital. Menurut laporan Liputan6 (www.liputan6.com/news/read/6035399/kemendikdasmen-akan-terapkan-smart-classroom-di-315000-satuan-pendidikan), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menargetkan penerapan Smart Classroom di 315.000 satuan pendidikan secara bertahap, termasuk 33.182 sekolah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pemerintah juga berencana membagikan 15.000 papan tulis interaktif dan perangkat pendukung lainnya untuk memperkuat digitalisasi pembelajaran.
Yang menarik, sejak tahun ajaran 2025/2026, Indonesia mulai menerapkan  Kurikulum Deep Learning  sebagai pendekatan nasional dalam pembelajaran. Pendekatan ini menekankan tiga elemen utama,   kesadaran (mindful)  ,  kebermaknaan (meaningful)  , dan  keberlanjutan (durable)  . Tujuannya bukan hanya agar siswa memahami materi, tetapi agar mereka mampu mengaitkan pengetahuan dengan konteks nyata, berpikir kritis, dan berkolaborasi secara aktif.
Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud, Laksmi Dewi, pendekatan ini akan mengubah cara guru mengajar, Â dari sekadar menyampaikan informasi menjadi fasilitator pengalaman belajar yang autentik. Guru didorong untuk menciptakan lingkungan belajar yang menggabungkan ruang fisik dan virtual, serta membangun kemitraan dengan orang tua dan komunitas. Dalam praktiknya, siswa diajak untuk membuat proyek, menyusun podcast, atau membandingkan karya sastra, bukan sekadar menghafal definisi.
Pendekatan ini juga telah diterapkan dalam pelatihan guru seperti program  Indonesia Digital Learning  yang digelar oleh Telkom Indonesia. Di Cirebon, misalnya, 100 guru dari berbagai kabupaten mengikuti pelatihan bertema "Guru Jabar Jago Digital" yang menggabungkan teknologi dan kecerdasan buatan dalam pembelajaran kreatif. Program ini menjadi bukti nyata kolaborasi antara dunia pendidikan, pemerintah daerah, dan industri dalam mendorong pembelajaran yang inovatif dan inklusif.