Untuk apa aku derana?
Jika hidup hanyalah hampa
Bentangan debu di alam semesta
Cerminan kabur kisah manusia
TAMPARAN YANG KERAS
Bumi tempat kita tinggal hanyalah titik samar yang mengorbit Matahari. Di sisi lain, Matahari bukanlah pusat megah dari jagat raya itu sendiri. Ia hanyalah satu bintang biasa di antara ratusan miliar bintang dalam Galaksi Bima Sakti. Galaksi kita sendiri merupakan satu dari triliunan galaksi yang bertebaran di ruang kosmos. Besar diameter Bima Sakti mencapai 100.000 tahun cahaya, sementara Andromeda, galaksi tetangga terdekat kita, berjarak 2,5 juta tahun cahaya. Dalam bingkai kosmologis, alam semesta berusia 13,8 miliar tahun. Sejarah manusia modern, jika dipadatkan dalam kalender kosmik setahun, hanyalah percikan detik menjelang pergantian tahun baru.Â
Muncullah getir di dalam jiwa akibat sepelenya kehidupan manusia dibandingkan dengan luasnya semesta. Bagaimana mungkin segala jerih payah, cita-cita, dan perjuangan manusia tampak bermakna, bila kosmos tidak menoleh pada kita? Di tengah bintang-bintang yang dingin dan abadi, kisah manusia hanyalah guratan tipis di pasir yang sebentar lagi terhapus angin. Tidak ada heroisme yang benar-benar mampu menandingi bisu dan luasnya semesta.Â
Aku dan kamu, seberkas pasir di antara gurun kosmik yang tiada tuan dan tiada arah. Lantas, mengapa aku masih peduli terhadap segala sesuatu di dalam hidupku yang sangat mungil ini?
AKU MEMBERONTAK MAKA AKU ADA
Namun, di sinilah letak paradoksnya. Walau hidup ini tak terbandingkan dengan keagungan kosmos, kita tetap dipanggil untuk menjalaninya. Manusia adalah peziarah di atas sebutir debu biru yang rapuh. Jangan sekali-kali terpikirkan untuk menutup hidup dengan keputusasaan sebab kita justru dipanggil untuk menghargai detik-detik fana ini.