Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna yang Tergilincir di Balik Panggung Wisuda SMK CBM Purwokerto

21 Mei 2025   07:22 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:22 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses wisuda SMK CBM Purwokerto yang mengimitasi tradisi universitas di Indonesia (Sumber: detik.com)

Tradisi Sakral atau Sekadar Gaya?

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh prosesi kelulusan siswa SMK Citra Bangsa Mandiri (CBM) Purwokerto yang digelar layaknya wisuda perguruan tinggi. Dalam video viral di media sosial, siswa SMK tersebut mengenakan toga dan berkumpul di panggung megah, lengkap dengan penyebutan “sidang senat terbuka” dalam pembukaan acara; sebuah istilah yang lazimnya digunakan dalam seremoni sakral wisuda universitas (Brilio.net, 2025). Tak hanya siswa, para guru pun tampak mengenakan toga beserta kalung gordon (lambang akademik) layaknya anggota senat akademik universitas (Brilio.net, 2025). Dekorasi panggung yang formal dan mewah semakin menguatkan kesan bahwa acara kelulusan tingkat SMK ini “meniru” format wisuda sarjana sepenuhnya.

Fenomena “wisuda SMK rasa universitas” ini segera menuai sorotan kritis. Banyak warganet menilai prosesi tersebut terlalu berlebihan dan khawatir pihak sekolah telah gagal memahami makna simbolik di balik atribut-atribut akademik yang mereka adopsi (Brilio.net, 2025). Selain itu, muncul perdebatan mengenai kelayakan penggunaan istilah dan perangkat seremonial yang biasanya eksklusif milik jenjang pendidikan tinggi. Di beberapa daerah, acara wisuda sekolah menengah sempat dilarang karena dianggap tidak relevan walau dalam kasus SMK CBM Purwokerto ini pihak sekolah berdalih kegiatan berlangsung di gedung milik sendiri, bukan fasilitas publik  sehingga dianggap tidak menyalahi aturan (Brilio.net, 2025). Kritik yang muncul menunjukkan adanya ganjalan normatif karena banyak yang merasa bahwa sebuah SMK telah melampaui pakem tradisi akademik dengan menggelar ritus yang lazimnya sakral di level universitas.

Para pakar pendidikan turut angkat suara atas kontroversi ini. Prof. Dr. Fauzi, Guru Besar UIN Saizu Purwokerto, mempertanyakan keberadaan senat akademik yang berwenang menggelar “sidang senat terbuka”  di tingkat SMK (Wahyudi, 2025). Dalam dunia akademik, senat universitas adalah badan normatif tertinggi (terdiri dari rektor, dekan, guru besar, dsb.) yang berwenang menyelenggarakan wisuda resmi (Wahyudi, 2025). Menggunakan istilah tersebut di level SMK secara simbolik dianggap menyalahi norma karena jenjang SMK pada hakikatnya tidak memiliki struktur senat akademik. Fauzi juga menyoroti penggunaan atribut kelulusan mirip perguruan tinggi. “Kalau meniru, kenapa harus begitu? Esensinya apa?” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa jika hanya demi ikut-ikutan tren tanpa memahami maknanya, sebaiknya dipertimbangkan kembali (Wahyudi, 2025). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa secara simbolik, langkah SMK CBM Purwokerto tersebut melampaui norma akademik. Formalisme seremonial tampaknya diutamakan alih-alih substansi kelulusan itu sendiri di dalam kasus SMK CBM Purwokerto.

Menanggapi kritik, pihak sekolah berdiri pada posisi pembelaan bahwa wisuda megah itu justru bentuk apresiasi dan motivasi. Kepala SMK CBM Purwokerto, Prisillia Mutiara Sari, menjelaskan bahwa konsep wisuda layaknya universitas sudah menjadi tradisi sekolah sejak 2013 dan dimaksudkan sebagai penghargaan tulus bagi siswa, guru, dan orang tua atas perjuangan pendidikan (Brilio.net, 2025). Beliau menegaskan tidak ada aturan hukum yang dilanggar dengan penggunaan toga dan atribut akademik di sekolah menengah. Menurut beliau, atribut tersebut hanyalah simbolis belaka (Brilio.net, 2025). Pernyataan tersebut menunjukkan perspektif bahwa penampilan seremonial dianggap bagian dari perayaan prestasi. Namun, polemik yang timbul mengisyaratkan adanya kesenjangan makna. Pihak SMK CBM Purwokerto memandang wisuda mereka sebagai penghormatan pada capaian siswa. Namun, publik menilai bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan demi pencitraan dan pemenuhan hasrat konsumsi simbolik semata.

Aku Mengonsumsi, Karenanya Aku Ada

Ungkapan di atas merupakan adaptasi sinis dari pepatah filosofis Cogito ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”) menjadi yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang untuk menggambarkan pergeseran mendasar dalam masyarakat konsumen modern. Eksistensi individu kini didefinisikan melalui konsumsi, bukan pemikiran atau pencapaian hakiki (Piliang, 2003). Dalam konteks budaya kontemporer, manusia menunjukkan keberadaannya melalui hal yang dikonsumsi. Contohnya adalah melalui produk populer yang dipakai, tren yang diikuti, bahkan seremoni yang digelar. Tindakan konsumsi atas simbol-simbol status dan gaya hidup telah menjadi cara ada (way of being) bagi subjek modern (Piliang, 2003).

Budaya konsumsi simbolik ini tercermin jelas pada fenomena wisuda SMK di atas. Acara kelulusan sekolah dikemas layaknya wisuda sarjana tidak dilakukan atas academic necessity, melainkan demi konsumsi simbolis nilai-nilai yang dianggap sebagai sebuah prestise (toga, gordon, istilah “sidang senat”). Hal tersebut sejalan dengan pandangan Piliang bahwa subjek modern menginternalisasi nilai-nilai sosial melalui konsumsi objek-objek budaya (Piliang, 2003). Dengan kata lain, adopsi terhadap atribut wisuda universitas menjadi semacam komoditas simbolik yang “dikonsumsi” sekolah tersebut untuk menandai eksistensi dan citra dirinya. Sayangnya, penanda simbolik semacam itu sering diambil tanpa pendalaman makna. Objek-objek populer diimitasi atau ditiru hanya sebagai gaya yang terpisah dari konteks esensialnya. Manusia kontemporer sering kali terlarut dalam euforia simbolis (jas, gelar, seremoni) ketimbang merenungi makna asli dan implikasi mendalam di balik objek-objek tersebut.

Sebagai contoh, wisuda sejatinya bermakna pengakuan formal atas kompetensi akademik setelah menuntaskan pendidikan tinggi. Namun, ketika format wisuda dikonsumsi oleh tingkat pendidikan lain sebagai gaya, terjadi inflasi simbolik. Semua jenjang pendidikan seakan menginginkan pengalaman sakral wisuda. Alhasil, ritual tersebut kehilangan keunikan maknanya. Konsumsi simbolik semacam ini berakar pada hasrat untuk diakui dan menjadi melalui kepemilikan simbol populer. Ungkapan “aku mengonsumsi, karenanya aku ada” menggambarkan kenyataan bahwa identitas dan eksistensi dibangun di atas apa yang dikonsumsi (entah barang, layanan, pengalaman, atau seremoni).

Pencitraan, Simulakra, dan Spektakel di Masyarakat Modern

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun