Tubuh perempuan, selalu dibilang keindahannya membawa masalah. Masyarakat tidak melihat tubuh mereka sebagai individu dengan kompleksitasnya sendiri, tetapi hanya sebatas objek yang bisa diseksualisasi. Seakan tidak cukup, masyarakat justru menyalahkan perempuan atas seksualitasnya. Dibilangnya masalah moralitas dan kekerasan di masyarakat muncul karena perempuan mengumbar seksualitasnya. Tindakan dosa yang dilakukan oleh laki-laki pun menjadi tanggung jawab perempuan. Padahal, perempuan sudah lama kehilangan kendali atas makna tubuh dan seksualitasnya sendiri.
Tubuh Perempuan di Mata Masyarakat
Permasalahan tersebut muncul karena tubuh perempuan selalu diseksualisasi oleh masyarakat. Tubuh perempuan selalu dipersepsikan berdasarkan masyarakat sehingga konstruksi tentangnya dibangun atas dasar perempuan sebagai objek bagi "orang lain" (Yuliani, 2011). Sebagai akibatnya, perempuan sebagai individu tidak dapat memaknai tubuh dan seksualitasnya sendiri. Seksualisasi tubuh perempuan tersebut pun memengaruhi bagaimana masyarakat melihat tubuh perempuan.Â
Masyarakat melihat tubuh perempuan sebagai sumber dosa. Dosa tersebut muncul karena seksualitas perempuan dianggap merupakan masalah yang memengaruhi perilaku dan penilaian etis mereka. Seksualitas perempuan yang tidak terkendali pun berpotensi merusak perempuan sehingga berbahaya bagi masyarakat (Platt, Davies, dan Bennett, 2018). Bahaya tersebut muncul karena beban mengedukasi keluarga menjadi tanggung jawab perempuan. Perempuan dengan perilaku dan etika yang tidak baik tidak akan bisa mengajarkan kebaikan pada generasi selanjutnya. Tidak hanya itu, keberadaan perempuan yang seksual juga dianggap dapat mengakibatkan kemunduran moral dan memicu kekerasan di masyarakat karena dapat memicu laki-laki (Jacobsen, 1991). Tindakan dosa yang dilakukan oleh laki-laki pun menjadi tanggung jawab perempuan
Beban Moralitas bagi Perempuan
Beban untuk menjaga moralitas masyarakat pun akhirnya dilimpahkan pada perempuan. Perempuan harus mengendalikan penampilan mereka yang diseksualisasi. Aturan mengenai cara berpakaian menjadi salah satu cara masyarakat menentukan apa yang diterima atau tidak diterima di masyarakat.Masyarakat merasa perlu untuk mengatur dan menghukum perempuan yang tidak patuh pada norma sehingga meminimalisasi pelanggaran. Aturan mengenai cara berpakaian menjadi perwujudan kekhawatiran kultural dalam menentukan apa yang dapat diterima di masyarakat (Raby, 2009). Aturan itu menjadi penanda moralitas perempuan berdasarkan bagaimana mereka berpakaian. Perempuan yang pakaiannya tidak sesuai aturan akan dipermasalahkan dan distigma sebagai nakal atau jahat.
Cara berpakaian juga menjadi penentu moralitas perempuan. Perempuan yang pakaiannya tidak sesuai aturan akan dianggap tidak bermoral atau nakal. Moralitas satu bangsa pun digantungkan pada pakaian perempuan. Moralitas perempuan dan pengawasannya menjadi gambaran dari batasan dan identitas negara (Platt, Davies, dan Bennett, 2018). Negara Indonesia dan masyarakatnya mengatur cara berpakaian perempuan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai timur, atau Asia. Negara menggunakan nilai-nilai Asia yang didasari oleh kekeluargaan dan struktur sosial kolektif (Platt, Davies, dan Bennett, 2018). Hal tersebut dianggap lebih bermoral apabila dibandingkan dengan nilai-nilai negara barat. Dengan begitu, negara telah berperan sebagai pembela perempuan atas ancaman moral internal dan eksternal. Negara yang mengatur cara berpakaian perempuan dengan ketat pun dinilai memiliki kepedulian tinggi atas moralitas masyarakatnya
Sensor Televisi sebagai Pengendalian Tubuh Perempuan
Salah satu cara untuk mengendalikan perempuan dan cara berpakaiannya adalah melalui sensor tayangan di televisi. Televisi dalam hal ini berperan sebagai institusi yang membuat keputusan berdasarkan nilai gender. Mereka akan menentukan cara berpakaian seperti apa yang dapat dilakukan oleh perempuan. Cara berpakaian yang dianggap tidak dapat diterima pun akan mengalami sensor. Dengan begitu, sensor menjadi kekuatan produktif dalam mendesain dan mendefinisikan ulang seksualitas (Hendershot, 1995). Dengan menghukum gambaran perempuan yang tidak sesuai, televisi telah menentukan seksualitas perempuan. Sayangnya, standar berpakaian dapat berbeda berdasarkan gender (Gretchen, 2017). Perempuan yang  menggunakan pakaian renang diwajibkan untuk menutupi dada dan kakinya. Sedangkan, laki-laki dapat bertelanjang dada di televisi. Hal tersebut menunjukkan adanya standar ganda yang menyerang perempuan berdasarkan seksualisasi tubuhnya.
Dampak pengendalian cara berpakaian perempuan melalui sensor tersebut semakin nyata ketika sensor dilakukan pada acara yang ditujukan pada anak-anak. Anak-anak pun akan menginternalisasi nilai tersebut melalui tayangan yang mereka saksikan sejak dini. Sejak dini, anak perempuan telah dihukum atas tuduhan tindakan tidak bermoral sehingga semua bentuk eksplorasi seksual ditolak oleh masyarakat (Chesney-Lind, 1986). Mereka pun akan belajar untuk membatasi ekspresi diri dan ruang gerak sejak dini. Mereka akan mempelajari bahwa perempuan harus memperhatikan pakaiannya agar tidak menunjukkan seksualitas mereka. Dengan begitu, anak-anak juga belajar untuk menstigma perempuan yang menunjukkan seksualitas mereka berdasarkan peran gender tradisional (Raby, 2009).Â
Ketakutan atas stigma tersebut akan membuat anak perempuan memperhatikan apa yang mereka lakukan dan pakaian mereka. Padahal, riset menunjukkan bahwa kapasitas mental dan fungsi kognitif anak akan terganggu apabila harus terus mengkhawatirkan penampilan mereka berdasarkan norma yang diseksualisasi (Harbach, 2016). Oleh karena itu, sensor yang dilakukan terhadap tubuh perempuan pada tayangan anak dapat memiliki dampak berkelanjutan pada anak.
Kekuasaan Patriarkis dalam Institusi Televisi
Dapat disimpulkan bahwa sensor menjadi lingkaran proses penekanan, eksklusi, dan regulasi seksualitas perempuan. Perempuan menjadi pihak yang harus membayar harga perlindungan moralitas. Penyensoran menjadi praktik kekuasaan untuk menekan kebebasan ekspresi perempuan (Derbel, 2019). Mereka mengorbankan kemampuan mereka bertindak secara optimal tanpa batasan demi memenuhi tuntutan moral masyarakat. Penyensoran terhadap tubuh perempuan tersebut juga menunjukkan bahwa seksualitas menjadi alat bagi kekuasaan laki-laki untuk mengonstruksi relasi gender yang merugikan perempuan (Tong dan Botts, 2018).Â
Apa yang diperlihatkan televisi melalui sensor tersebut menunjukkan bahwa tubuh perempuan harus ditutupi karena dapat merusak moral masyarakat apabila diperlihatkan. Vision adalah konstruksi sosial yang dipelajari dan dibangun oleh masyarakat berdasarkan kehidupan sosial, etika, dan politik (Carrabine, 2017). Oleh karena itu, representasi visual berupa sensor itu dipengaruhi oleh adanya seksualisasi tubuh perempuan di masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, sensor ini pun mengarahkan opini masyarakat dan membingkai tubuh perempuan sebagai sumber dosa yang harus dikendalikan.