Mohon tunggu...
Dapot Nainggolan
Dapot Nainggolan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sejarah Gereja, Litugika, Musik Gereja STT Pelita Dunia

Dosen Sejarah Gereja, Litugika, Musik Gereja STT Pelita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kotak Kosong: Kritik pada Pragmatisme Politik Masyarakat

4 Oktober 2020   17:42 Diperbarui: 4 Oktober 2020   17:47 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak terlalu lama lagi masayarakat Indonesia di beberapa daerah/wilayah akan mengadakan pesta demokrasi dalam rangka memilih kepala daerah (pilkada) mereka masing-masing. Banyak peristiwa-peristiwa menarik dalam proses-proses yang ada menuju pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. 

Pandemi Covid-19 turut menyumbang banyaknya terjadi peristiwa-peritiwa itu. Mulai dari bakal calon yang harus dikarantina karena terkonfirmasi positif Covid-19 hingga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan yang telah di anjurkan oleh pemerintah. Namun demikian dari berbagai peristiwa menarik yang ada itu, 'Kotak Kosong' menjadi kejadian yang paling banyak menyita perhatian. 

Kotak Kosong menjadi pesaing bagi calon tunggal di suatu daerah atau wilayah tertentu. Kotak Kosong muncul karena semua partai politik bergabung untuk mendukung satu pasangan tunggal. Sementara melalui jalur perseorangan (independen) untuk menjadi calon kepala daerah menemui jalan yang tidak mudah, sehingga banyak yang gagal melaluinya. Hasilnya terjadilah calon tunggal versus Kotak Kosong.

Trend Kotak Kosong semakin meningkat dalam Pilkada-pilkada serentak yang berlangsung hingga kini. Menurut penelusuran penulis dari berbagai sumber, pada tahun 2015 Kotak Kosong hanya berada di 3 daerah yang melaksanakan pilkada, kemudian meningkat pada tahun 2017 menjadi 9 daerah, dan terus meningkat pada tahun 2018 yakni Kotak Kosong ada di 16 daerah. 

Dan tahun ini (2020) Kotak Kosong berada di 25 pemilihan kepala daerah. Selain faktor dasar hukum yaitu putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 yang ikut mengukuhkan hadirnya Kotak Kosong secara konstitusional, faktor pragmatisme politik dari masyarakat dan partai politik mendominasi sebab kemunculan Kotak Kosong dalam pemilihan kepala daerah.

Jikalau saja partai politik tidak terlalu pragmatis dalam setiap proses-proses politik dalam pelaksanaan pilkada maka seharunya minimal 2 atau 3 pasangan calon bisa dimunculkan oleh partia-partai politik disetiap daerah yang melakukan pilkada merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Belum lagi ditambah dengan bila hadirnya calon perseorangan (Independen).

Tentu saja penulis tidak ingin mengeneralisasi semua partai politik adalah pragmatis. Mungkin saja ada partai politik yang ingin mencalonkan pasangan calon kepala daerah namun karena tidak cukup kursi di DPRD yaitu 20 persen dari kursi yang ada sebagai syarat mencalonkan kepala daerah maka pupuslah harapan itu. 

Dilain pihak, mungkin saja ada partai politik yang cukup kursi DPRD sebagi syarat pencalonan, pula demikian dengan kader yang siap dan punya kompetensi untuk jadi pemimpin daerah, namun minimnya dana politik yang dimiliki menjadi pertimbangan dan halangan. Maka terjadilah 'permufakatan' oleh semua partai yang ada untuk bersama-sama bergabung pada satu orang calon yang dianggap memiliki kemampuan dana politik untuk memenangkan pertarungan pemilihan kepala daerah.

Melihat situasi demikian itu, mulailah ada kalangan-kalangan masyarakat tertentu bergerak membentuk aliansi-aliansi dan sama-sama berteriak; 'lawan partai politik transaksional -- pilih Kotak Kosong". Kotak Kosong muncul, tiba-tiba sebagian masyarakat kini seolah-olah berlomba-lomba untuk mencintainya.

Tapi maaf, seandainya Kotak Kosang bisa bicara, penulis yakin dia akan menolak suara anda! Penulis mau mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif yang lebih luas. Bukankah selama ini  pragmatisme partai politik merupakan sebab-akibat dari pragmatisme politik yang terjadi dikalangan masyarakat juga? Bukankah partai sedang berhitung? Berhitung kemampuan finansial lembaganya dan juga bakal calonnya. Seberapa kuat kemampuan finansialnya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin suara. 

Mari berkaca pada pengalaman -- pengalaman yang sudah -- sudah dalam setiap pelaksanaan pilkada. Bukankah kebanyakan dari masyarakat pemilih mau memilih calon tertentu ketika mereka di beri uang? Faktanya adalah banyak terjadi 'money politik' bagi masyarakat pemilih. Jadi pelaku utama yang menimbulkan biaya politik tinggi adalah masyarakat pemilih itu sendiri (mohon maaf bagi masyarakat yang murni hatinya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun