Mohon tunggu...
Indra Prasetyo
Indra Prasetyo Mohon Tunggu... -

penulis amatiran asli banyumas yg mencintai yogya, saat ini bekerja di ibukota.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karena Galau Itu Baik

12 Agustus 2012   00:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 1644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dear calon fresh graduate universitas,

Saya menulis catatan ini semalam dari balkon lantai dua, ditemani temaram cahaya bulan yang hampir penuh di pertengahan bulan puasa. Jam di laptop menunjukkan pukul 22:49, suasana sangat lengang di perumahan yang mayoritas dihuni oleh warga keturunan tionghoa. Di bawah sana, anak-anak kompleks sedang menghabiskan waktu sengganggnya di akhir pekan. Sempurna! Ya momen seperti ini lah yang selalu ditunggu. Sepi, seorang diri, jauh dari hiruk pikuk kemacetan, klakson dan juga semua urusan korporat yang harus diakui telah memberikan kontribusi sehingga saya bisa merasakan privilis seperti ini.

Delapan bulan lalu, saya lulus dari universitas. Memuaskan meski tidak cumlaude, tapi lebih dari cukup untuk mengetok permisi pintu korporat. 3,41 dalam waktu empat tahun pas. Ijazah menjadi satu-satunya surat berharga yang saya punya, bukan saham bukan pula obligasi meski empat tahun saya mempelajarinya. Lucu bukan? Karena memang sejak awal berniat untuk menjadi orang korporat saya tetap mengambil ijazah itu,memindai, menggandakan dan mengirimkannya kepada beberapa korporasi multinasional. Mulai dari fast moving consumer goods, mining company, consultant, dan otomotif. Hasilnya lima belas kali psikotes dan interview tanpa penandatanganan kontrak kerja. Hidup itu memang tidak adil kawan, jadi biasakanlah! Quotation dari Patrick Star terdengar manis. Bagaimana tidak, saya merasa banyak kawan-kawan yang ‘biasa-biasa’ saja relatif mudah mendapatkan pekerjaan dari pada saya yang dulu sedikit pongah berlagak seperti CEO hanya karena kebetulan pernah mengelola bisnis gotong royong milik bersama dengan kapitalisasi bernilai milyar rupiah.

Hidup memang tidak selalu linier saudara...

Apa yang dimimpikan sewaktu lulus dari universitas? Pekerjaan mapan? Gaji tinggi? SUV? Tidak buruk walaupun sejujurnya terdengar pragmatis. Saya pun dulu memimpikan hal demikian. Percayalah, uang memang selalu menggiurkan. Dan lebih dari sekedar uang, karir korporat adalah soal prestise, garansi masa depan dan juga daya dukung untuk meyakinkan calon pasangan. Siapa sih yang enggan untuk menjadi pasangan officer korporat dengan kemeja klimis, bergadget smartphone meski cuma gemini? Dengan catatanappearance muka acceptable, rasanya lelaki model korporat lebih berpeluang untuk diterima perempuan dari pada pria tanpa setelan kemeja dan pekerjaan mapan. Bukan begitu? Hallo perempuan, mengaku sajalah...

Dunia korporasi memang bisa menyediakan itu. Tentu saja korporasi besar dengan skala bisnis nasional dan/atau multinasional. Apalagi jika korporasi itu punya corporate image yang cukup mentereng, nama kita akan terdongkrak naik. Cobalah sesekali  iseng untuk mempost pekerjaan ke profil facebook. Bekerja di PT. nama besar, lalu tebaklah berapa frend request yang tiba-tiba jadi bertambah entah dari mana. Rasanya mempost pekerjaan lebih menjual dari pada sekedar mahasiswa di Universitas ternama.


Saya sendiripun merasa beruntung menjadi seorang korporat setelah harus melewati sekian kali aplikasi, menunggu tiga bulan sebelum akhirnya menyandang gelar corporate man dan mulai membayar PPh yang pertama. Tiga bulan pertama itu bulan madu, tiga bulan berikutnya masa galau dan biasanya titik kritisnya akan berada di paruh tahun pertama, apakah seseorang bisa survive atau tumbang dalam persaingan korporasi. Kabar buruknya, saya termasuk yang tumbang.

Area representative officer menjadi title saya yang pertama. Tugasnya mirip seperti seorang key account officer, menjembatani  relasi bisnis antara dua entitas: ATPM dan dealer. Namun pada kenyataanya, saya lebih banyak menghabiskan waktu di belakang layar. Memelototi pergerakan market share, menemukan penyebab kenapa market share turun, memonitor program kompetitor lalu presentasi ke manajemen sebagai bagian dari early warning system korporat. Semacam pekerjaan marketing intelligence dalam bahasa wahnya. Sisanya dilakukan di luar kantor, field survey untuk forecast market, atau menghadiri jamuan dealer. Pada momen formal tertentu bahkan kita bisa merasakan duduk di kursi reserved berlabel VIP.

Pekerjaan semacam ini menuntut profile tinggi, orangtalkative yang berani sedikit membual. Sebagai staff entry level, mental lebih diutamakan dari pada skill. Mirip seperti presentasi sidang skripsi, semua hal harus dipersiapkan secara sempurna. Knowledge harus diluar kepala, karena kita tak akan pernah tau kapan dan dimana bapak manajemen yang terhormat akan menyorotkan pointer ke screen presentasi kita dan bertanya: kenapa? Ya, kenapa adalah pertanyaan yang paling menjadi momok bagi setiap area representative. Karena sekali kita tak punya jawaban memadai, reputasi kita jatuh, atau paling tidak menanggung malu. Jika kita sama sekali tidak tahu, lebih aman untuk mengatakan, ‘baik pak nanti akan saya coba gali lagi root causenya’. Kalau tahu setengah-setengah bolehlah sedikit membual untuk menjaga muka. Tapi itupun harus dilakukan dengan hati-hati, karena bapak-bapak manejemen level tentunya lebih ahli, lebih punya daya analisis tajam dari pada member baru yang masih ingusan.

Tiga bulan sekali bisa dikatakan masa liburan bagi area representative officer. Bukan cuti, melainkan perjalanan dinas ke area wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Tiket pesawat pp menggunakan flag carrier kebanggaaan Indonesia, hotel, semua ditanggung korporat. Itu adalah masa-masa berharga karena selain bisa terbebas dari rutinitas kantor, giliran kita yang akan diperlakukan seperti bos oleh para dealer. Antar jemput dari bandara ke hotel, makan siang, makan malam tanpa kita perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Yah sempurna bukan?

Tapi itu hanya yang terlihat di permukaan. Sebagian orang bisa menikmati pekerjaan seperti ini, bangga dan perform. Sebagian lagi galau dan memutuskan untuk keluar. Apa yang salah saudara? Nyatanya  di dunia korporasi, tak ada makan siang gratis. Itu yang seharusnya saya sadari sejak dulu. Kenyamanan, gaji dan segala fasilitas berbanding lurus dengan tuntutan yang ada. Rutinitas delapan-tujuh belas alias tenggo jarang berlaku di korporasi. Secara aktual, perusahaan hanya mau tau pekerjaan kita selesai, that’s it. Peduli setan mau pulang jam tujuh, sembilan atau sebelas. Setidaknya korporasi membayar saya sangat baik. Untungnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun