Pemikiran Kontemporer Islam di Indonesia:Â Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat
Di tengah pergulatan zaman yang terus berubah, Islam sebagai agama tidak hanya menghadapi tantangan internal dalam menjaga ajaran, tapi juga eksternal dalam menyikapi realitas sosial, politik, dan budaya. Di Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, muncul sejumlah tokoh yang memperkaya khazanah pemikiran Islam agar tetap relevan di tengah dunia yang makin kompleks.
Tiga nama yang patut disorot dalam konteks pemikiran Islam kontemporer di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal). Ketiganya membawa corak, pendekatan, dan latar belakang yang berbeda, namun satu tujuan: menghadirkan Islam yang inklusif, rasional, dan humanis.
Gus Dur: Islam Sebagai Jalan Kemanusiaan
Gus Dur bukan sekadar pemikir; ia adalah pejuang kebebasan yang menjadikan Islam sebagai dasar etika sosial. Dalam banyak pemikirannya, ia menolak keras eksklusivisme agama. Menurutnya, agama tak boleh menjadi tembok pemisah antar manusia. Sebaliknya, agama harus menjadi jembatan yang merangkul semua, tanpa kecuali.
Salah satu sumbangan besar Gus Dur adalah pemahamannya bahwa nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Pancasila sejatinya sejalan. Ketika banyak tokoh Islam terjebak pada wacana negara Islam, Gus Dur justru menegaskan bahwa negara Indonesia sudah Islami dalam substansi, meski bukan secara formal. Bagi Gus Dur, memperjuangkan keadilan sosial, kebebasan beragama, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas adalah wujud pengamalan Islam yang sejati.
Tidak mengherankan jika Gus Dur membela Ahmadiyah, Syiah, bahkan kelompok minoritas non-Muslim sekalipun. Ia bukan hanya bicara, tetapi juga bertindak. Dalam satu kutipan yang terkenal, ia berkata: "Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah hak-hak kemanusiaan yang seringkali diinjak-injak atas nama Tuhan."
Cak Nur: Rasionalitas dan Pembaruan Islam
Jika Gus Dur adalah simbol Islam yang membela kemanusiaan, maka Nurcholish Madjid adalah simbol Islam yang mendorong rasionalitas. Gagasan "Islam Yes, Partai Islam No" yang disuarakan Cak Nur pada 1970-an bukan sekadar provokasi, melainkan refleksi mendalam bahwa umat Islam harus membedakan antara agama sebagai nilai spiritual dan partai sebagai alat politik yang bersifat profan.
Cak Nur menginginkan umat Islam untuk keluar dari jebakan romantisme sejarah Islam klasik dan mulai membaca realitas dengan cara baru. Ia menekankan pentingnya ijtihad sebagai cara untuk menggali nilai-nilai Islam yang relevan dengan tantangan masa kini, termasuk demokrasi, HAM, kesetaraan gender, hingga pluralisme.
Dalam kerangka itu, Cak Nur kerap berbicara soal "kontekstualisasi Islam." Baginya, teks-teks suci harus ditafsirkan dalam cahaya zaman. Islam yang hanya berputar pada wacana fiqh yang tekstual tanpa mempertimbangkan semangat zaman, menurutnya, akan menjadi mandek dan tidak menyelesaikan masalah umat.