Di tengah arus deras globalisasi ilmu pengetahuan modern yang didominasi oleh paradigma Barat, muncul suara-suara kritis dari dunia Islam yang mempertanyakan arah dan nilai-nilai di balik kemajuan sains kontemporer. Ilmu pengetahuan modern memang telah membawa banyak kemajuan teknologi dan kemudahan hidup, namun di balik itu, juga menyisakan berbagai persoalan etis, ekologis, dan eksistensial. Dalam konteks ini, muncul gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah tawaran alternatif sebuah proyek intelektual untuk mereposisi ilmu dalam kerangka nilai-nilai Ilahiah dan tanggung jawab moral manusia.
Salah satu tokoh sentral dalam wacana ini adalah Ziauddin Sardar, seorang pemikir, penulis, dan konsultan kebijakan publik asal Inggris keturunan Pakistan. Ia dikenal luas karena gagasan-gagasannya yang kritis terhadap sains modern sekaligus konstruktif dalam membayangkan masa depan Islam di dunia yang terus berubah. Pemikiran Sardar bergerak lintas bidang: dari filsafat sains, studi budaya, hingga kebijakan pembangunan. Keberaniannya dalam mengkritik sains modern dari sudut pandang Islam telah menjadikannya suara penting dalam diskusi global tentang sains, nilai, dan peradaban.
Bagi Sardar, ilmu pengetahuan modern tidaklah bebas nilai sebagaimana diklaim oleh para penganjurnya. Sebaliknya, ia menilai bahwa sains modern merupakan produk sejarah dan budaya Barat yang mengusung nilai-nilai sekularisme, materialisme, dan dominasi atas alam. Di sinilah letak persoalannya: ilmu yang lahir dalam konteks worldview tertentu kemudian dipaksakan sebagai 'universal', padahal ia mengandung muatan ideologis yang tak selalu sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam konteks inilah, Sardar menawarkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, bukan sebagai proyek reaktif atau romantisme terhadap masa lalu keemasan Islam, melainkan sebagai sebuah upaya rekonstruksi epistemologis yang mendalam. Ia mengajak umat Islam untuk menyusun kembali paradigma ilmu berdasarkan worldview tauhid, yaitu pandangan hidup yang memandang Tuhan sebagai pusat realitas, wahyu sebagai sumber pengetahuan utama, dan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab terhadap bumi dan seluruh makhluk di dalamnya.
Kritik terhadap Ilmu Pengetahuan Modern
Ziauddin Sardar menilai bahwa ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat tidaklah netral ataupun universal sebagaimana diklaim. Ia menyebutnya sebagai “a colonial project with universalist pretensions” sebuah proyek kolonial yang menyamar sebagai pengetahuan universal. Bagi Sardar, klaim-klaim seperti objektivitas, rasionalitas murni, dan netralitas ideologis dalam ilmu modern adalah mitos yang menyembunyikan dominasi epistemik Barat atas dunia non-Barat, khususnya dunia Islam.
Sardar menunjukkan bahwa sains modern bertanggung jawab atas berbagai bentuk kerusakan, baik ekologis maupun sosial. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, eksploitasi dunia ketiga, serta pengembangan teknologi destruktif seperti senjata nuklir semua ini menurutnya merupakan hasil dari paradigma ilmu yang tidak berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual.
Bagi Sardar, kritik terhadap ilmu modern bukan berarti penolakan terhadap metode ilmiah itu sendiri, melainkan terhadap kerangka ideologis dan orientasi moral di balik praktik ilmu tersebut. Dalam pandangan Islam, ilmu seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada hikmah yang menyatukan pengetahuan dengan akhlak dan tujuan penciptaan.
Pentingnya Worldview Islam dalam Ilmu
Bagi Ziauddin Sardar, solusi atas krisis ilmu pengetahuan modern tidak bisa hanya dilakukan dengan menambal kekurangan sains Barat melalui pendekatan moralistik belaka. Yang dibutuhkan adalah perubahan mendasar pada kerangka epistemologis ilmu itu sendiri. Dan di sinilah worldview Islam—pandangan hidup yang berakar pada tauhid—diperlukan untuk menjadi fondasi baru dalam membangun ilmu pengetahuan yang lebih holistik, etis, dan manusiawi.
Sardar memandang bahwa dalam Islam, ilmu bukanlah entitas yang berdiri netral, melainkan selalu berada dalam hubungan dengan Tuhan (Allah), manusia, dan alam semesta. Ilmu dalam Islam bersumber dari dua wahyu: wahyu tertulis (Al-Qur’an) dan wahyu tak tertulis (alam semesta), yang keduanya saling melengkapi.
Beberapa prinsip utama yang seharusnya membentuk paradigma ilmu menurut Islam adalah: Tauhid (kesatuan Ilahi), Khalifah (peran representatif manusia), ‘Adl (keadilan), dan Akhirat (tanggung jawab eskatologis). Ilmu dalam Islam adalah proses pencarian makna, bukan sekadar pengumpulan data atau produksi teknologi. Maka dari itu, Islamisasi ilmu adalah penyusunan ulang kerangka berpikir menuju ilmu yang transformatif dan menghidupkan.
Metodologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Sardar, proyek Islamisasi ilmu membutuhkan kerja intelektual yang sistematis. Ia menolak pendekatan simbolik dan menyerukan rekonstruksi epistemologi. Beberapa langkah metodologis yang diusulkannya antara lain:
- Mengkritisi asumsi dasar ilmu pengetahuan modern: seperti sekularisme, reduksionisme, dan dualisme.
- Reformulasi konsep-konsep kunci ilmu: seperti waktu, ruang, dan kemajuan dari perspektif Islam.
- Pengembangan metodologi Islami: yang menyatukan akal, empirisme, dan etika wahyu.
- Kontekstualisasi ilmu untuk menjawab persoalan umat dan dunia: seperti krisis lingkungan, kemiskinan, dan ketidakadilan global.
Sardar juga menekankan pentingnya kerja lintas disiplin, keterlibatan kolektif para intelektual Muslim, serta pembentukan institusi dan kurikulum yang membumikan gagasan ini.
Bukan Sekadar Kritik, Tapi Visi Peradaban
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dari Ziauddin Sardar bukanlah semata proyek kritik terhadap sains modern, melainkan tawaran untuk membangun visi peradaban baru. Peradaban yang didorong oleh keadilan, spiritualitas, dan keberlanjutan, bukan semata efisiensi atau ekspansi ekonomi. Sardar tidak menganjurkan eksklusivisme, melainkan menekankan dialog dan keterbukaan terhadap ilmu Barat, selama disaring dalam cahaya nilai-nilai Islam.
Meski mendapat kritik, seperti dari Pervez Hoodbhoy, yang menilai Islamisasi ilmu akan membatasi kebebasan berpikir, Sardar justru melihatnya sebagai arah baru untuk menyembuhkan ilmu dari kehampaan nilai dan bias kolonial. Ilmu tidak bisa netral; pertanyaannya bukan apakah ilmu membawa nilai, tapi nilai siapa yang dominan di balik ilmu tersebut.
Islam, Ilmu, dan Masa Depan Umat
Gagasan Ziauddin Sardar tentang Islamisasi ilmu pengetahuan hadir sebagai tawaran visioner yang sangat relevan. Ia memberikan kerangka teoretis dan langkah praktis untuk membangun kembali ilmu yang berakar pada nilai-nilai wahyu dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Islamisasi ilmu bukan menolak akal dan eksperimen, tetapi mengarahkan ilmu agar berjalan seiring dengan etika, keadilan, dan spiritualitas.
Dengan demikian, umat Islam tidak hanya kembali menjadi subjek dalam produksi ilmu, tetapi juga menjadi penentu arah masa depan peradaban. Ilmu yang Islami adalah ilmu yang tidak hanya canggih, tetapi juga bermakna dan memanusiakan. Sebuah ilmu yang menyatu antara logika dan cinta, observasi dan makna, dunia dan akhirat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI