Mohon tunggu...
Ramadhani Perdana
Ramadhani Perdana Mohon Tunggu... profesional -

Lagi berusaha cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebelum‬ Memutuskan Berangkat Ke TPS Esok Hari

8 Juli 2014   19:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:00 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu prinsip pemilu demokratis yaitu equality, yaitu kesetaraan suara. UUD ’45 menjamin kesetaraan suara sebagaimana diatur oleh pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Untuk itu, dalam Demokrasi dikenal jargon OPOVOV (One Person One Vote One Value). Jika kita tafsirkan kata- kata tersebut akan bermakna menjadi setiap individu yang ikut dalam proses Demokrasi (baca: Pemilu) memiliki hak suara yang nilainya sama dengan individu lain. Artinya siapapun individunya, apapun latar belakangnya hanya memiliki satu suara dan satu nilai. Suara seorang Ulama dan seorang pelacur dihitung sama, suara orang yang berilmu dan suara orang yang tidak berilmu nilainya sama. Suara seorang hamba sahaya dihitung sama dengan suara orang yang merdeka. Suara orang yang tidak amanah (koruptor) dinilai sama dengan suara seorang yang amanah. Begitu juga dengan orang yang setengah waras akan sama nilai suaranya dengan orang waras bergelar Profesor. Jika persamaan suara diatas dinyatakan dalam persamaan matematis, maka persamaanya menjadi:

Pelacur = Ulama = Koruptor = Amanah = Budak = Merdeka = ½ gila = Profesor = 1

Lebih lanjut, jargon itu juga bermakna bahwa Demokrasi lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Maksudnya adalah seseorang yang memilih calon Presiden/ DPR atau sejenisnya yang didasari atas pertimbangan (logika) akan dinilai sama kualitas suaranya dengan seseorang yang memilih karena motif uang 50 ribu. Seseorang yang mencoblos dalam keadaan mabuk/ setengah mabuk kualitas suaranya akan dihitung sama dengan orang yang mencoblos dalam keadaan sadar. Suara seseorang yang telah banyak berjasa kepada bangsa akan dihitung sama dengan seseorang yang menjadi pengkhianat bangsa. Dalam Demokrasi hal yang terpenting adalah banyaknya suara yang diperoleh, bukan kualitas suara yang dihasilkan. Hal ini dapat dimaklumi karena, dalam Demokrasi yang menjadi pemenang adalah siapa yang mendapat suara terbanyak. Tidak peduli dari mana asal suara diperoleh, apakah itu dari pezina, pemabuk, ahli ibadah, cendekiawan, Profesor, Doktor, atau ulama sekalipun.

Apakah sama kualitas seorang Ulama dengan seorang Pelacur dalam memilih pemimpin? Apakah sama kualitas seorang Profesor dengan orang setengah waras dalam memilih pemimpin? Apakah sama kualitas suara seseorang yang mencoblos karena didasari pertimbangan dan keilmuan dengan seseorang yang mencoblos karena didasari motif uang atau kekerabatan? Ada baiknya kita berpikir sejenak sebelum melangkahkan kaki menuju TPS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun