"Di Balik Erupsi, Ada Suara dan Misi  yang Tak Pernah padam
di Bawah Kaki Gunung Sinabung."
 Gunung Sinabung masih menyisakan cerita panjang hingga saat ini. Asap kadang masih mengepul, tetap menjadi ancaman bagi masyarakat di Kabupaten Karo. Suara gemuruh dari perut bumi dan turunnya abu vulkanik menyebabkan banyak petani gagal panen. Erupsi, aliran lahar dingin, dan bencana lainnya bukanlah hal baru, tetapi luka yang terus terbuka bagi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan gunung ini. Hari demi hari, selalu ada cerita baru yang terucap dari bibir warga sekitar yang melihat dan merasakan langsung dampaknya.
Mereka yang telah lama tinggal di sekitar Sinabung tak pernah berhenti berharap agar bencana ini segera berakhir, dan kehidupan mereka kembali normal. Mereka rindu akan kebersamaan dahulu, ketika masyarakat hidup damai berdampingan dengan Gunung Sinabung selama berpuluhpuluh tahun. Harapan itu terus tergambar di wajah-wajah warga Kabupaten Karo.
Di tengah situasi penuh ketidakpastian itu, seorang warga bernama Maragading Harahap menyalakan cahaya kecil. Ia bukan pejabat, bukan pula tokoh besar. Tinggal di Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, ia sangat peduli terhadap ibadah umat Muslim. Ia berpikir bahwa musibah yang sedang menimpa mereka adalah ujian dari Yang Maha Kuasa, agar penduduk lebih dekat kepada-Nya. Ia yakin musibah ini adalah teguran, agar mereka lebih tabah dalam menghadapinya.
Karena itu, ia membentuk sebuah perkumpulan dakwah Muslim di Desa Tanah Karo. Padahal ia tahu, hal ini bukan tanpa tantangan, bahkan bisa menimbulkan konflik di masyarakat karena mayoritas penduduk di desa tersebut adalah non-Muslim dan adat istiadat masih dijunjung tinggi. Ia menghadapi berbagai cobaan, meski ia bukanlah seorang ahli agama. Ia adalah sarjana pariwisata lulusan Universitas Sumatera Utara dan pernah bekerja di Hotel 8 Padang Bulan Pelangi Internasional.
Kisah ini bermula saat ia memutuskan merantau ke kampung halaman istrinya dan tinggal di rumah mertuanya. Di sana, ia menyewa ladang dan menjadi petani tembakau. Istrinya pun ikut menjadi buruh tani. Bersama, mereka berjuang menyekolahkan tiga anak laki-laki. Di balik kerja kerasnya, tumbuh niat dalam hatinya untuk berdakwah, meski belum tahu caranya.
Tahun 2010 menjadi titik balik. Erupsi Gunung Sinabung memaksa warga Desa Temberun mengungsi ke Desa Tiganderket. Di tengah kekacauan, Maragading melihat umat Muslim dan nonMuslim tinggal bercampur. Ia mengusulkan kepada BKM Masjid Nurul Islam agar umat Muslim ditampung di masjid. Bukan untuk memisahkan, tapi demi menjaga kekhusyukan ibadah. Awalnya, BKM ragu karena khawatir bantuan tidak mencukupi. Namun Maragading meyakinkan, "Jika niat kita demi kebaikan dan agama, Allah pasti bantu." Benar saja, bantuan mengalir dan tak satu pun pengungsi kelaparan.
Namun perjuangannya tidak selalu disambut baik. Ia dituduh memecah belah umat, bahkan diteror. Suatu hari saat duduk di warung kopi, ia mendengar seseorang berkata, "Itu pemisah umat. Bacok saja!" Tapi ia tetap fokus pada niat baiknya.
Tahun 2013, letusan kembali terjadi, lebih dahsyat dari sebelumnya. Warga panik dan berlarian tanpa arah. Bahkan ada yang membonceng istri orang karena dikira istrinya sendiri. Di tengah kekacauan, seorang warga meninggal dunia. Hanya tiga orang, termasuk Maragading, yang berani mengantarnya ke pemakaman. Meski warga lain menyarankan untuk menyelamatkan diri,salah satu barga berkata 'sudah selamatkan diri masing-masing saja gimana pun juga itu sudah meninggal". ia menolak, "Ini kewajiban kita sebagai Muslim." Setelah usai memakamkan jenajah iapun langsung ikut rombongan pengungsian.
 Setelah sampainya di pengungsian Ia kembali mengusulkan agar umat Muslim tinggal di masjid. Sebanyak 280 kepala keluarga setuju.banyak juga warga yang muslim tidak mau tinggal di masjid. Namun, bantuan tak kunjung datang. Warga mulai gelisah dan kelaparan. Maragading menghadap panitia dan memohon agar bantuan dikirim ke masjid. Alhamdulillah, bantuan kembali mengalir.setelah keadaan gunung Sinabung yang Mulai aman maka warga pun sudah diperbolehkan Kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Sejak itu,pulang dari pengungsian ia mulai membuka rumah ngaji kecil-kecilan di rumahnya. Setiap malam, selepas Magrib, ia mengajar anak-anak mengaji tanpa bayaran. Ia merasa terpanggil melihat minimnya pemahaman agama di desanya. Ia kemudian mulai mengisi pengajian ibu-ibu, hingga akhirnya dikenal sebagai Ustaz Harahap.
 Tak berhenti di situ, ia mengusulkan pernikahan massal. Banyak pasangan di desa hanya menikah secara adat tanpa sah secara agama. Lebih dari 200 pasangan mendaftar. Sayangnya, hanya enam yang mendapat buku nikah karena donatur yang membantu ternyata melakukan korupsi. Ia kembali menjadi sasaran amarah warga. Dengan tenang ia menjelaskan, "Yang penting kalian sah secara agama. Buku nikah kita usahakan."
Ia juga mengusulkan santunan bagi anak yatim se-Tanah Karo. Acara berjalan lancar, dan perlahan-lahan ia mulai dikenal luas. Dakwahnya menyentuh hati, doanya menenangkan jiwa. Ketika donatur kembali datang dan menawarkan untuk membangun madrasah, ia langsung bergerak mencari tanah. Kini, madrasah itu berdiri kokoh, menjadi tempat belajar anak-anak Muslim secara gratis.
 Ia tak hanya mengajar, tetapi juga membimbing para mualaf. Ia sadar tidak semua akan bertahan dalam Islam, tapi ia percaya selama niatnya baik, Allah akan membalas dengan cara-Nya. Dan benar saja, anaknya kini menjadi sarjana.
Meski tak bergaji, hidupnya penuh berkah. Ia mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja di ladang sejak Subuh, saat orang lain masih tidur. Wajahnya penuh kerutan, tetapi semangatnya tak pernah padam. Ia juga menjadi honorer di KUA. Saat pengangkatan P3K, ia tidak lolos karena faktor usia, meski teman-temannya lulus. Ia tidak kecewa. "Mungkin Allah punya jalan lain. Kalau saya lulus, siapa yang ajar ngaji anak-anak ini?"
Kini, madrasah yang ia dirikan tetap berjalan. Sederhana, tetapi penuh makna. Ia berharap suatu hari nanti akan ada generasi muda yang melanjutkan perjuangannya. Syukur, kini mulai banyak anak pondok di desa itu, tanda bahwa Islam perlahan bangkit kembali di Tanah Karo.
Maragading tidak hanya memberikan ilmunya kepada orang tua, tetapi juga kepada anak-anak yang tinggal di desanya. Masya Allah, bukan hanya seminggu sekali, tetapi setiap sore hingga selesai salat Magrib berjamaah, anak-anak diajarkan ilmu agama di ruang tamu rumahnya.
Melihat perjuangan Ustaz Harahap, masih saja ada yang memandangnya buruk. Banyak yang mengira dia bermuka dua, padahal ia adalah sosok yang sangat tulus. Dengan ketulusannya, ia berhasil mendidik anak yang taat kepada Allah SWT, anak yang mendengarkan nasihat orang tua, yang tidak susah diatur, anak yang saleh dan sukses di masa depan.
Ustaz Harahap bekerja di ladang dengan penuh semangat, mencangkul dan merawat tanaman dengan hati tulus. Meski kerutan di wajahnya bertambah, dan bahunya mulai membungkuk, ia tak pernah berhenti berjuang untuk umat. Ia mengajak umat agar tetap berada di jalan Allah: salat, puasa, dan membayar zakat. Itu semua bukan hal yang mudah di desanya.
 Meski banyak gosip dan omongan buruk tentang dirinya, ia tak menghiraukannya. Baginya, yang penting hatinya tulus berjuang di jalan Allah. Melihat anak-anak yang mengaji saja, hatinya sudah merasa tenteram. Ia sadar, tanpa pengajian, anak-anak di desa mungkin tidak akan mengenal huruf hijaiyah, apalagi bisa berdoa untuk orang tuanya.
Meskipun madrasah ini belum mampu mencetak penghafal Al-Qur'an atau pembaca Al-Qur'an yang fasih, tetapi jika anak-anak itu bisa salat lima waktu dan mendoakan orang tuanya, itu sudah merupakan rahmat dari Allah. Tidak mudah menemukan orang seperti Ustaz Harahap di zaman sekarang. Banyak orang hanya memikirkan diri sendiri dan mencari keuntungan.
Meski demikian, ia tidak menyerah. Ia tetap berpikir positif kepada Allah, tetap bertawakal dan berusaha menjalankan misi-misinya. Ia hanyalah seorang petani yang berjuang di jalan Allah. Kini, ia memiliki kebun salak dan kebun tomat yang alhamdulillah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dibalik pejuangan ustad harahap ini ada sosok seorang istri yang setia mendampingi dakwah sang suami sosok yang tak terlihat tapi sangat penting dalam perjuangannya.
Walaupun kehidupan mereka sulit, dia selalu mendukung suaminya dengan penuh kasih sayang.
 Perubahan yang Terjadi di Desa Lama kelamaan, usaha dakwah Ustaz Harahap mulai berbuah. Anak-anak desa yang dulunya tidak tahu apa-apa tentang huruf hijaiyah, mulai belajar membaca dan menghafal Al-Qur'an. Setiap malam, setelah salat Magrib, mereka berkumpul dimadrasah Ustaz Harahap untuk mengaji. Lambat laun, mereka semakin bisa membaca dan bahkan ada yang juara lomba MTQ. Semua itu berkat usaha Ustaz Harahap yang tanpa lelah mengajarkan mereka.
Selain itu, masjid yang sebelumnya sepi, mulai ramai. Dulu, hanya sedikit orang yang datang salat berjamaah, sekarang semakin banyak yang ikut. Masyarakat mulai sadar akan pentingnya salat berjamaah dan menghidupkan masjid. Begitu juga anak-anak ngaji ustad harahap banyak yang berpartisipasi menjalankan sholat lima waktu di masjid. Perubahan ini terjadi berkat ketulusan Ustaz Harahap yang selalu mengajak mereka dengan sabar dan penuh kasih.
Namun, perjuangan Ustaz Harahap tidak selalu mulus. Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika ia jatuh sakit. Tubuhnya lemah dan ia merasa tak mampu lagi mengajar. Namun, saat itu ada seorang anak datang ke rumahnya dan berkata, "Ustaz, saya ingin mengaji malam ini."
Mendengar itu, Ustaz Harahap merasa terharu. Meski tubuhnya lelah, ia berusaha mengajar karena ia tahu bahwa usaha ini bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk anak-anak di desa yang butuh bimbingan.
Harapan Masa Depan Ustaz Harahap Meskipun hidupnya sederhana, Ustaz Harahap memiliki impian besar. Ia ingin madrasah terus berkembang di Tanah Karo, tempat yang bisa mencetak generasi muda yang tidak hanya pandai ilmu agama, tapi juga menjadi pemimpin yang baik. Madrasah yang ia dirikan sekarang sudah banyak membantu anak-anak untuk belajar agama secara gratis.
Suatu hari, Ustaz Harahap berkata kepada anak-anak muda yang mulai rajin mengaji, "Saya berharap kalian yang akan melanjutkan dakwah ini. Supaya tidak berhenti di saya, tapi terus berkembang."dan sudah diterapkan oleh ustad harahap dengan membawa sering adik laki-laki saya sendiri untuk berkeliling kampung  menjadi imam sholat dan ceramah pengajian dikarenakan juga adik saya dulu mengaji di tempat ustad Harahap dan melanjutkan Pendidikan di pondok pesantren jadi setiap libur dia meluangkan waktu untuk ikut Bersama ustad harahap dan menjadi pengalaman
 Meskipun tidak semua anak yang belajar di madrasahnya akan melanjutkan perjuangan ini, Ustaz Harahap tetap berharap bahwa Tanah Karo akan memiliki generasi yang kuat iman dan peduli pada sesama
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI