Mohon tunggu...
Nia singarimbun
Nia singarimbun Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa ilmu komunikasi di universitas sumatera utara.Tertarik pada dunia media,budaya,dan tulisan opini.Menulis untuk berbagi perspektif dan belajar dari sesama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Maragading Harahap: Ketulusan yang Mengubah Desa dan Membangun Madrasah"

15 Juli 2025   21:33 Diperbarui: 15 Juli 2025   21:33 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi pribadi)

 Setelah sampainya di pengungsian Ia kembali mengusulkan agar umat Muslim tinggal di masjid. Sebanyak 280 kepala keluarga setuju.banyak juga warga yang muslim tidak mau tinggal di masjid. Namun, bantuan tak kunjung datang. Warga mulai gelisah dan kelaparan. Maragading menghadap panitia dan memohon agar bantuan dikirim ke masjid. Alhamdulillah, bantuan kembali mengalir.setelah keadaan gunung Sinabung yang Mulai aman maka warga pun sudah diperbolehkan Kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Sejak itu,pulang dari pengungsian ia mulai membuka rumah ngaji kecil-kecilan di rumahnya. Setiap malam, selepas Magrib, ia mengajar anak-anak mengaji tanpa bayaran. Ia merasa terpanggil melihat minimnya pemahaman agama di desanya. Ia kemudian mulai mengisi pengajian ibu-ibu, hingga akhirnya dikenal sebagai Ustaz Harahap.

 Tak berhenti di situ, ia mengusulkan pernikahan massal. Banyak pasangan di desa hanya menikah secara adat tanpa sah secara agama. Lebih dari 200 pasangan mendaftar. Sayangnya, hanya enam yang mendapat buku nikah karena donatur yang membantu ternyata melakukan korupsi. Ia kembali menjadi sasaran amarah warga. Dengan tenang ia menjelaskan, "Yang penting kalian sah secara agama. Buku nikah kita usahakan."

Ia juga mengusulkan santunan bagi anak yatim se-Tanah Karo. Acara berjalan lancar, dan perlahan-lahan ia mulai dikenal luas. Dakwahnya menyentuh hati, doanya menenangkan jiwa. Ketika donatur kembali datang dan menawarkan untuk membangun madrasah, ia langsung bergerak mencari tanah. Kini, madrasah itu berdiri kokoh, menjadi tempat belajar anak-anak Muslim secara gratis.

 Ia tak hanya mengajar, tetapi juga membimbing para mualaf. Ia sadar tidak semua akan bertahan dalam Islam, tapi ia percaya selama niatnya baik, Allah akan membalas dengan cara-Nya. Dan benar saja, anaknya kini menjadi sarjana.

Meski tak bergaji, hidupnya penuh berkah. Ia mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja di ladang sejak Subuh, saat orang lain masih tidur. Wajahnya penuh kerutan, tetapi semangatnya tak pernah padam. Ia juga menjadi honorer di KUA. Saat pengangkatan P3K, ia tidak lolos karena faktor usia, meski teman-temannya lulus. Ia tidak kecewa. "Mungkin Allah punya jalan lain. Kalau saya lulus, siapa yang ajar ngaji anak-anak ini?"

Kini, madrasah yang ia dirikan tetap berjalan. Sederhana, tetapi penuh makna. Ia berharap suatu hari nanti akan ada generasi muda yang melanjutkan perjuangannya. Syukur, kini mulai banyak anak pondok di desa itu, tanda bahwa Islam perlahan bangkit kembali di Tanah Karo.

Maragading tidak hanya memberikan ilmunya kepada orang tua, tetapi juga kepada anak-anak yang tinggal di desanya. Masya Allah, bukan hanya seminggu sekali, tetapi setiap sore hingga selesai salat Magrib berjamaah, anak-anak diajarkan ilmu agama di ruang tamu rumahnya.

Melihat perjuangan Ustaz Harahap, masih saja ada yang memandangnya buruk. Banyak yang mengira dia bermuka dua, padahal ia adalah sosok yang sangat tulus. Dengan ketulusannya, ia berhasil mendidik anak yang taat kepada Allah SWT, anak yang mendengarkan nasihat orang tua, yang tidak susah diatur, anak yang saleh dan sukses di masa depan.

Ustaz Harahap bekerja di ladang dengan penuh semangat, mencangkul dan merawat tanaman dengan hati tulus. Meski kerutan di wajahnya bertambah, dan bahunya mulai membungkuk, ia tak pernah berhenti berjuang untuk umat. Ia mengajak umat agar tetap berada di jalan Allah: salat, puasa, dan membayar zakat. Itu semua bukan hal yang mudah di desanya.

 Meski banyak gosip dan omongan buruk tentang dirinya, ia tak menghiraukannya. Baginya, yang penting hatinya tulus berjuang di jalan Allah. Melihat anak-anak yang mengaji saja, hatinya sudah merasa tenteram. Ia sadar, tanpa pengajian, anak-anak di desa mungkin tidak akan mengenal huruf hijaiyah, apalagi bisa berdoa untuk orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun