Mohon tunggu...
Dani Siswardhani Wahjono
Dani Siswardhani Wahjono Mohon Tunggu... Penulis Musiman

Sedekah yang paling utama adalah ketika seorang muslim mempelajari ilmu, kemudian mengajarkannya kepada saudaranya. (HR. Ibnu Majah)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"KALCER": Sebuah Gaya Hidup atau Gaya-Gayaan Gen-Z?

28 Juni 2025   13:10 Diperbarui: 28 Juni 2025   13:10 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalcer bukan sekadar mengikuti budaya global. Justru dia nunjukin bahwa Gen Z punya kreativitas luar biasa dalam menggabungkan berbagai referensi budaya jadi sesuatu yang segar. Mereka bukan cuma peniru, tapi peracik. Dari sinilah kita bisa lihat bahwa kalcer juga bisa jadi ruang untuk mengeksplorasi jati diri. Meskipun kelihatannya cuma soal estetika, outfit, atau filter TikTok, sebenarnya itu bagian dari proses sosial dan psikologis yang dalam. Mereka sedang menyusun puzzle mulai dari gue siapa, gue di mana, gue maunya apa, apakah gue eksis, dan lainnya.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan dan komunikasi, gue ngeliat fenomena ini bukan cuma sebagai tren, tetapi sebagai dinamika budaya yang berkembang digenerasinya, dan ini sangat menarik dikaji. Istilah kayak "kalcer" nunjukin gimana bahasa berkembang jadi kode/simbol yang lahir di kehidupan sosial. Di sisi lain, ini juga nunjukin betapa budaya digital membentuk cara baru dalam memahami dunia Gen Z. Kita jadi tahu bahwa anak muda belajar bukan cuma dari buku, tapi dari pengalaman visual, audio, dan interaksi digital sehari-hari (bersosial di media sosial).

Kalau dunia pendidikan mau relevan, kita perlu ngikutin dan memahami dinamika ini. Mungkin udah waktunya metode belajar juga masuk ke "kalcer" mereka. Bayangin pelajaran sejarah atau budaya disampaikan dalam format yang sesuai dengan eranya Gen Z seperti konten video, storytelling visual, atau bahkan role play digital. Bukan berarti ngelepas substansi, tapi justru menyampaikan substansi dengan cara yang mereka pahami.

"Kalcer" mungkin terdengar ringan tetapi dia punya muatan sosial dan psikologis yang nggak kecil. "Kalcer" menjadi cara Gen Z untuk menunjukkan diri mereka, membangun komunitas, dan merespons dunia yang terus berubah. Dan meskipun kadang terasa konyol, lucu, atau terlalu estetis, semua itu bagian dari dinamika perubahan budaya dari zaman ke zaman. Kalau lu bingung, bukan berarti mereka yang aneh, mungkin saja lu yang belum update (kalau pakai bahasa anak milenial = kudet).

Jadi kalau besok lu lihat anak muda pakai jaket oversize (maca manak rapper tahun 90-an), duduk di coffee shop sambil dengerin musik Pop Jepang 80-an, lalu bilang ada yang bilang, "kalcer banget nih," jangan langsung mikir itu cuma gaya-gayaan. Bisa jadi itulah cara mereka menemukan dirinya di tengah dunia saat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun