Dulu, kita harus keluar rumah bawa kamera, nunggu golden hour, setting aperture sama shutter speed, terus berharap dapet momen yang buat sebuah mahakarya jepretan. Nah sekarang apakah masih sama? Sekarang ini cukup ketik prompt kayak “sunset di pantai Bali dengan siluet pasangan romantis”, enter dan tunggu sebentar, lalu — voila! AI ngasih gambar yang lebih estetik dari hasil jepretan sendiri.
Pertanyaannya untuk saat ini, “masih perlukah kita motret beneran, kalau AI bisa bantu bikin foto yang se-real mungkin?”
Fotografi digital udah jadi gaya hidup, mulai dari kamera DSLR sampai HP kentang, semua orang bisa jadi fotografer dadakan apalagi dikawinan yang akhirnya kerjaan fotografer menjadi percuma karena pada minta difoto pakai HP (maaf agak sedikit curhat). Tapi jangan salah, meskipun keliatannya gampang, foto yang bagus itu tetep butuh sense of art.
Fotografer itu bukan sekadar jepret, mereka ngerti cahaya, warna, emosi dan ekspresi. Mereka nunggu momen dan bukan bikin momen. Setiap foto punya cerita, ada proses, ada pengalaman langsung sama objeknya. Bahkan kadang, ada keringat dan drama di balik satu hasil potret yang epic, dan ada juga ketidaksengajaan ngejepret malah bikin hasil yang fantastis boombastis. Contoh yang simple yah, foto konser metal yang penuh crowd surfing, debu, dan strobe light itu mustahil direka ulang pakai prompt. Energinya sangat beda.
Di sisi lain, AI generatif kayak Midjourney, DALL·E, atau Stable Diffusion ngasih shortcut buat siapa aja yang pengen visual ciamik. Ngga perlu kamera, ngga perlu keluar rumah, dan tinggal duduk lalu ketik deskripsi sesuai yang diinginkan. Boom! jadi deh foto yang “seolah nyata”, yang bisa kamu pake buat konten, ilustrasi, bikin buat menu café, menu warung kopi krikil yang sangat kalcer, dan bahkan bisa juga dibuat untuk branding.
AI ini ngebuka banyak kemungkinan baru, dunia yang gak pernah ada bisa divisualisasiin atau diada-adain, tokoh sejarah bisa “difoto” ulang menjadi lebih hidup, dan visual absurd bisa jadi nyata. Kerennya, kita bisa jadi kreator visual tanpa harus belajar teknis motret (jadi anak seni dadakan juga bisa).
Nah masalahnya yang dihadapi, makin susah bedain mana yang beneran difoto sama mana yang cuma hasil prompt, apalagi sampai ke WAG Keluarga bisa rame tuh. Bahkan sekarang banyak akun di medsos yang pakai “foto palsu” buat menipu audiens. Ini ngebuka obrolan soal etika, transparansi, dan batas antara seni dengan manipulasi.
Kalo kamu bilang foto AI itu “fotografi juga”, fotografer bisa bilang, “Eh bro, lu motret apaan? Cuma ngetik doang”. Meski beda alat, dua-duanya tetep butuh kreativitas. Fotografer mikir soal komposisi, pencahayaan, dan momen. Pengguna AI mikir soal deskripsi visual, style, dan detail. Jadi bukan berarti salah satu lebih rendah, dan tetap kita wajib menghargai karyanya. Secara real dilapangan bedanya, fotografer “ngalamin kenyataan”, sementara prompt engineer “hanya ngebayangin kemungkinan”.
Kita ngga harus milih satu doang, justru sekarang kita hidup di era kolaborasi. Fotografer bisa pake AI buat ngerancang konsep. AI artist bisa belajar dari hasil jepretan nyata. Dunia makin hybrid, foto mentah dari fotografer dipoles oleh prompt engineer untuk menghasilkan mahakarya yang beyond the limit (selamat datang di hiper-realitas karya seni).
Satu hal yang ngga akan bisa tergantikan adalah pengalaman motret langsung. Ketika kita ada di lokasi, kitab isa ngerasain suasananya, ngobrol sama objeknya, nunggu momen pas, hal yang tidak terduka akan terjadi dan paling penting adaah networking sama temen-temen dilapangan, itulah bagian dari cerita yang bisa bikin foto kita menjadi hidup dan berkesan.