Di masa lalu Kerajaan Aceh punya hubungan sejarah dengan Portugal saat itu bernama Portugis, terutama masalah perdagangan hingga pecahnya perang dikawasan Selat Malaka. Selat Melaka merupakan jalur perniagaan yang ramai yang banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negeri di Asia. Negeri-negeri yang ada di sepanjang perairan Selat Melaka, silih berganti menempati kedudukan sebagai bandar/pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal yang lewat di sana untuk mengambil perbekalan dan sekaligus dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berniaga dan kepentingan-kepentingan lainnya. Salah satu negeri yang terkenal di kawasan itu ialah Melaka. Sudah semenjak awal abad ke-15 Melaka dijadikan sebagai sentral perdagangan oleh para pedagang yang berasal dari berbagai negeri, baik dari barat (Timur Tengah dan India), maupun dari negeri Cina di Timur dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Melaka juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh pedagang muslim yang berasal dari negeri-negeri Timur Tengah, India, dan negeri-negeri Asia Tenggara yang penduduknya telah memeluk agama Islam. Karena fungsi dan kedudukannya itu, maka negeri Melaka pada waktu itu dapat disebut sebagai pemimpin dalam kemaraan Islam di kawasan Selat Melaka. Hal ini dapat dicapai melalui perniagaan dan juga karena terdapat perkawinan-perkawinan di antara keluarga sesama penguasa kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Situasi keharmonisan dan ketentraman hubungan perniagaan yang terdapat pada negeri-negeri di kawasan Selat Melaka, berlangsung sepanjang abad ke-15 M. Situasi yang demikian baru terusik ketika datangnya bangsa barat (Portugis) pertama kali ke wilayah itu.
Orang-orang Portugis muncul pertama kali di Asia Tenggara pada awal abad ke-16 Masehi; tepatnya pada tahun 1509.8 Maksud dan tujuan kedatangan mereka yang utama adalah untuk memerangi orang-orang Islam yang dalam istilah mereka disebut dengan orang Moor, sebagai lanjutan dari Perang Salib (Perang antara orang Kristen dan orang Islam). Portugis semua orang Islam adalah orang Moor dan musuh mereka.9 Selain itu, Portugis juga bermaksud meng-hancurkan perdagangan saudagar-saudagar Islam dimanapun berada sehingga mereka dapat memegang kendali dalam perdagangan, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang terkenal memiliki berbagai komoditi yang sangat diperlukan di pasaran Eropah.
Untuk maksud tersebut sejak awal kedatangannya Portugis berusaha menguasai jalur perdagangan Selat Melaka dan merebut kota Melaka yang sangat strategis dari orang-orang Islam. Pada tahun 1511 Portugis melancarkan suatu serangan hebat ke atas kota Melaka dan mereka berhasil menguasainya. Dengan didudukinya Melaka berakibat timbulnya kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat Melaka, khususnya di kalangan pedagang-pedagang Islam. Lebih-lebih karena Portugis tidak senang berhubungan dagang dengan para pedagang Islam. Mereka lebih menyukai berdagang dengan pedagang-pedagang yang bukan beragama Islam. Akibatnya, para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari Melaka. Mereka terpaksa mencari tempat-tempat lain yang dianggap cocok sebagai pangkalan dagangnya di kawasan Selat Melaka. Tempat-tempat yang dituju antara lain Johor di semenanjung Tanah Melayu dan Aceh di ujung bagian utara Pulau Sumatra. Kemudian dalam perkembangannya kedua tempat ini muncul dan berkembang menjadi bandar perdagangan baru bagi saudagar-saudagar Islam dan dijadikan tumpuan mereka sebagai pengganti Melaka yang telah dikuasai oleh Portugis.
Setelah Melaka dikuasai Potugis keluarga Sultan Melaka hijrah ke negeri Johor dan melanjutkan kesinambungan Kesultanan Melaka di tempat yang baru ini. Oleh karena itu, negeri Johor dianggap sebagai pengganti Kesultanan Melaka,13 sehingga paling beralasan untuk memusuhi Portugis dan berupaya untuk mengusirnya kembali dari Melaka. Untuk itu, berulangkali Johor melancarkan serangan terhadap kedudukan Portugis di Melaka. Hal ini dilakukannya mulai tahun 1515, tahun 1516, 1519, 1524 dan dilanjutkan pada tahun 1533.
Dan pada tahun 1551 angkatan perang Johor dengan dibantu oleh negeri Perak, Pahang, dan Jawa Jepara melancarkan suatu serangan secara besar-besaran untuk merampas kembali Melaka dari tangan Portugis. Namun semua penyerangan yang dilakukan mengalami kegagalan sehingga Portugis tetap bercokol di Melaka. Baru pada tahun 1641 ketika pihak lain, yaitu Belanda menyerang Melaka untuk merebutnya dari tangan Portugis di mana Johor ikut memberi bantuan kepada Belanda, berhasil mengalahkan Portugis. Sebaliknya, dalam upaya menghapus keturunan Sultan Melaka yang sudah pindah ke negeri Johor, pihak Portugis juga melancarkan serangan ke Johor. Penyerangan terhadap Johor juga berulangkali dilakukan Portugis, yaitu tahun 1524, tahun 1526, 1535, 1576 dan tahun 1587. Meskipun Portugis bermusuhan dengan Johor dan berulangkali terlibat peperangan, tetapi di antara keduanya (Portugis dan Johor) pernah berbaikan. Hal ini terjadi karena kelihaian Portugis mempengaruhi Johor ketika mereka menghadapi Aceh sebagai suatu kekuatan baru di kawasan Selat Melaka.
Muncul dan berkembangnya Kerajaan Aceh, berkaitan erat dengan penaklukkan Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 Masehi. Setelah Melaka dikuasai Portugis, pedagang-pedagang Islam yang biasa berdagang di sana terpaksa menyingkir mencari tempat lain yang cocok untuk tempat berdagang. Di antara mereka ada yang datang ke Aceh. Dengan datangnya pedagang-pedagang Islam, Aceh menjadi ramai dan berkembang sebagai salah satu bandar tempat berdagang serta tempat penyiaran agama Islam untuk kawasan Nusantara pengganti Melaka. Selanjutnya, dengan potensi yang dimilikinya, Aceh semakin berkembang, menjadi kaya dan kuat. Karena kaya dan memiliki kekuatan sehingga timbul hasrat untuk memperluas kuasanya, baik ke Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatra maupun ke Semenanjung Tanah Melayu. Selain itu, yang paling didambakan oleh Aceh ialah mengeyahkan Portugis di kawasan Selat Melaka. Sama halnya dengan negeri Johor, Kerajaan Aceh juga berulangkali mencoba melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dan di tempat-tempat lain di kawasan Selat Melaka.
Penyerangan pertama terhadap Portugis dilakukan pada tahun 1524 yang pada waktu itu sedang berada di Kerajaan Pasai. Pada tahun 1547 Melaka Portugis menjadi sasaran penyerangan pihak Aceh, namun karena negeri-negeri Melayu seperti Johor yang mengetahui penyerangan ini diam saja, tidak membantu Aceh, malah sebaliknya mereka berpihak kepada Portugis menyebabkan penyerangan ini gagal. Dalam hal ini Portugis berjaya memecah belah antara Johor dengan Aceh.18 Penyerangan berikutnya dilakukan pihak Aceh pada tahun 1568. Meskipun penyerangan ini dilakukan secara besar-besaran yang dibantu oleh tentara bayaran/sewaan, seperti Turki, Malabar, dan Abbessinia, tetapi Aceh juga tidak mampu mengusir Portugis dari Melaka. Pada tahun 1577 lagi-lagi Aceh menyerang Portugis di Melaka, tetapi juga tidak berhasil. Demikian juga penyerangan yang dilakukan pada tahun 1615 dan penyerangan yang paling besar pada tahun 1629. Kesemuanya tidak berhasil mengusir Portugis dari Melaka.
Selain melakukan penyerangan terhadap Portugis, Aceh juga melakukan sejumlah ekspansi ke daerah-daerah yang berpotensi ekonomi, baik di Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatra maupun ke negeri-begeri di Semenanjung. Maksud ekspansi ini, selain untuk kepentingan ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap kekuatan Portugis di Melaka dan kelemahan-kelemahan Sultan-sultan Melayu dalam menghadapi pihak Portugis. Lebih-lebih karena Portugis sering mengadakan hubungan tertentu untuk mencari pengaruh atas kerajaan-kerajaan yang lemah di Semenanjung Tanah Melayu. Akibatnya, setiap Kerajaan Melayu yang berhubungan dengan Portugis dimusuhi oleh Aceh. Sementara kerajaan-kerajaan itu menginginkan agar mereka dapat bebas berhubungan dengan siapa saja yang dianggap membawa keuntungan bagi mereka. Oleh karena adanya perbedaan kepentingan, maka timbullah persaingan dan pertikaian yang terus menerus antara Kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya dengan Kerajaan Johor di Semenanjung.
Pada tahun 1539 Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra diserang Kerajaan Aceh dengan alasan karena Aru berhubungan dengan Portugis. Padahal Kerajaan Aru merupakan daerah taklukan Johor di Sumatra. Akibat penyerangan ini Johor dan sekutu-sekutunya mencurigai dan tidak senang terhadap Kerajaan Aceh. Hal ini kemudian berkembang menjadi permusuhan yang membawa keuntungan besar bagi Portugis sehingga ia dapat mencegah musuh-musuhnya (kerajaan-kerajaan Melayu) untuk bersatu dalam menentang mereka. Dengan alasan karena Johor membantu Portugis ketika Aceh menyerang Melaka pada tahun 1547, maka pada tahun 1564 Aceh menyerang Johor dan berhasil menjadikan Johor untuk beberapa tahun sebagai vazal Kerajaan Aceh. Penyerangan terhadap Johor juga dimaksudkan oleh Aceh sebagai persiapan untuk menyerang kembali Portugis di Melaka, supaya Johor tidak berkesempatan membantu Portugis seperti pada tahun 1547.24
Setiap kerajaan yang bersahabat dengan Portugis di Melaka atau memberi kesempatan berdagang di kerajaannya, dimusuhi oleh Kerajaan Aceh. Demikianlah Kerajaan Johor sebagai salah satu kerajaan berpengaruh di Semenanjung Tanah Melayu karena pernah mengadakan persahabatan dengan Portugis, maka selalu bermusuhan dengan Kerajaan Aceh dan sebagaimana telah disebutkan, Johor sering mendapat serangan pihak Aceh. Kadang-kadang memang terjadi suatu hubungan baik antara kedua kerajaan, meskipun kemudian terjadi permusuhan lagi. Contohnya, dapat dilihat, ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada tahun 1613 Aceh menyerang Kota Batu Sawar dan berhasil menguasainya. Sultan Johor (Sultan Alaudin) yang telah berusia lanjut menyingkir ke Pulau Bintan. Tetapi, Sultan Muda yang disebut Raja Sabrang (Raja Abdullah) bersama keluarganya dan juga orang Belanda yang mencoba membantu Johor dapat ditangkap dan dibawa ke Aceh.
Raja Sabrang selama di Aceh, rupa-rupanya telah dapat meyakinkan Sultan Aceh bahwa dia juga merupakan orang yang memusuhi Portugis seperti juga orang-orang Aceh. Oleh karenanya, Sultan Aceh menaruh kepercayaan kepada Raja Sabrang dan kemudian dia dikawinkan dengan saudara perempuan sultan. Setelah beberapa lama di Aceh, pada September 1614 M Raja Sabrang bersama istrinya dikirim kembali ke Johor yang diantar sekitar 2000 orang Aceh. Pengantar sebanyak ini dimaksudkan untuk membangun kembali ibukota Kerajaan Johor (Batu Sawar) yang telah rusak akibat diserang oleh tentara Aceh sebelumnya. Kemudian Raja Sabrang menjadi sultan dengan gelar Sultan Hammat Shah. Setelah beberapa lama menduduki tahta kerajaan, Sultan Hammat Shah mengadakan hubungan atau suatu perjanjian kerja sama di bidang ekonomi dan politik dengan Portugis di Melaka yang diwakili oleh Fernando da Costa. Hal ini menimbulkan kemarahan Sultan Aceh.