Jakarta adalah wajah utama Indonesia: pusat ekonomi, pemerintahan, dan simbol kemajuan. Namun di balik kemegahan gedung pencakar langit, Jakarta menyimpan paradoks-kota yang tumbuh besar, tapi tidak tumbuh sehat. Data IQAir (2024) menyebutkan bahwa Jakarta masuk dalam lima besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan indeks polusi harian yang sering kali melebihi ambang aman WHO. Ini bukan sekadar angka, ini soal hak dasar warga kota: hak untuk menghirup udara bersih.Â
Perencanaan kota Jakarta selama ini berjalan seperti menambal ban bocor: dilakukan cepat tapi tanpa arah jangka panjang yang jelas. Menurut Prof. Nirwono Joga, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, "Jakarta tidak memiliki masterplan kota yang konsisten dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Yang ada justru proyek demi proyek yang tidak saling terhubung" (Kompas, 2023). Transportasi publik seperti MRT dan LRT memang sudah hadir, namun masih belum menjangkau seluruh lapisan kota. Banyak warga tetap bergantung pada kendaraan pribadi. Data BPS DKI Jakarta (2023) menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 21 juta kendaraan bermotor di wilayah Jabodetabek, jumlah yang terus meningkat setiap tahun. Sementara itu, ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta hanya mencapai sekitar 9,98% dari luas wilayah (DLH DKI Jakarta, 2023), jauh dari ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang mewajibkan minimal 30%. Akibatnya, suhu kota meningkat, air hujan tidak terserap, dan banjir jadi bencana rutin.
Lebih parah lagi, pembangunan cenderung berpihak pada sektor properti kelas atas. Sementara itu, permukiman warga berpenghasilan rendah justru rentan tergusur. Sebagaimana dikritik oleh Koalisi Rakyat untuk Hak atas Kota (KRuHA), penataan kota Jakarta masih cenderung "mengusir kemiskinan, bukan mengatasi kemiskinan."Jakarta memang sedang dipersiapkan untuk tidak lagi menjadi ibu kota. Namun pertanyaan utamanya bukan sekadar soal pindah atau tidak, melainkan: apakah Jakarta masih bisa menjadi kota yang layak ditinggali? Untuk itu, kita butuh perencanaan kota yang manusiawi. Tata kota yang berpihak pada pejalan kaki, yang mengutamakan angkutan umum, yang memperluas taman kota, dan yang melibatkan warga dalam prosesnya.
Seperti dikatakan oleh Jane Jacobs dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities: "Kota yang baik adalah kota yang mampu membuat orang merasa nyaman tinggal di dalamnya." Jakarta punya peluang untuk berubah. Tapi perubahan itu harus dimulai dengan keberanian: berani menata ulang, berani membatasi ego sektoral, dan berani membangun kota yang adil bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI