Saya tiba di Medan beberapa hari lalu dengan bekal seperangkat teori metodologi, tumpukan jurnal akademik, dan jujur saja sedikit stereotip di kepala. Sebagai seorang peneliti dari luar Sumatera, saya sudah sering mendengar "peringatan" tentang karakter orang Medan: bicaranya keras, ceplas-ceplos, dan terkesan kasar. Misi saya saat itu adalah mengumpulkan data. Namun, saya justru mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: sebuah pelajaran tentang komunikasi dan kemanusiaan.
Hari-hari pertama saya di lapangan adalah serangkaian kejutan budaya mini. Saat bertanya arah jalan dengan kalimat paling sopan yang saya rangkai, "Permisi, Bapak, mohon maaf mengganggu, kalau boleh tahu, untuk ke Jalan A ini lewat mana, ya?" saya mendapat jawaban kilat, "Lurus aja kau! Nampak simpang empat itu? Belok kiri. Udah, di situ!"
Tidak ada "mari, Pak" atau "silakan". Intonasinya tegas, volumenya sedikit di atas standar telinga saya yang terbiasa lembut. Awalnya? Saya kaget. Ada sedikit rasa ciut. Benar ternyata apa kata orang, pikir saya. Namun, seiring berjalannya penelitian, berinteraksi dengan narasumber dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, politis, pengusaha, hingga abang tukang becak---saya sadar, saya telah salah membaca tanda.
Mendekonstruksi Makna 'Kasar'
Kesalahan pertama saya adalah menyamakan "tegas" dan "volume tinggi" dengan "kasar" atau "marah". Di Medan, intonasi yang bagi orang luar terdengar seperti membentak, sering kali adalah cara normal mereka berbicara, terutama saat sedang bersemangat atau ingin memastikan pesannya sampai. Ini bukan agresi, melainkan ekspresi.
Begitu pula dengan penggunaan kata ganti seperti "kau" dan "awak". Jika di daerah lain kata "kau" bisa terdengar sangat kasar dan merendahkan, di sini ia adalah kata ganti orang kedua yang paling lazim dan setara. Ia digunakan kepada teman sebaya hingga orang yang baru dikenal, menandakan tidak adanya jarak. Justru menggunakan kata "Anda" terkadang bisa terasa kaku dan aneh.
Saya belajar bahwa apa yang saya anggap "kasar" sesungguhnya adalah bentuk efisiensi linguistik. Orang Medan tidak suka bertele-tele. Basa-basi dianggap membuang-buang waktu dan, ironisnya, dianggap tidak tulus.
Logika di Balik Keterusterangan: Kejujuran Adalah Bentuk Penghargaan Tertinggi
Semakin dalam saya menyelami interaksi sosial di sini, saya menemukan sebuah logika indah di balik keterusterangan ini.
1. Efisiensi dan Penghargaan Waktu: Di sini, langsung ke pokok persoalan adalah bentuk penghargaan. Ketika seorang narasumber mengkritik pertanyaan penelitian saya dengan kalimat, "Ah, gak pas kurasa pertanyaanmu itu, Bah! Harusnya kau tanya soal ini...," itu bukan serangan. Itu adalah sebuah shortcut menuju perbaikan. Dia tidak ingin waktu kami berdua terbuang untuk membahas hal yang tidak relevan.
2. Kesetaraan yang Cair: Keterusterangan menempatkan semua orang pada level yang sama. Tidak ada hierarki feodal yang rumit dalam percakapan sehari-hari. Anda bisa berdebat sengit dengan seorang profesor di warung kopi tentang topik penelitian, dan lima menit kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menepuk pundaknya. Status tidak menjadi penghalang untuk kejujuran.