Layar bioskop di kota-kota besar hingga pelosok negeri hampir tak pernah padam. Angka penonton film nasional seperti KKN di Desa Penari atau Agak Laen yang menembus jutaan menjadi penanda gairah luar biasa masyarakat kita terhadap sinema. Kita bersorak saat jagoan menang, menitikkan air mata saat adegan sedih, dan tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang cerdas. Film telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi hiburan dan budaya kita.
Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: setelah lampu bioskop kembali menyala dan credit title bergulir, apa yang tersisa? Apakah hanya sisa-sisa popcorn dan tiket yang usang? Ataukah sebuah pemahaman baru, sebuah kegelisahan intelektual, atau kemampuan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda?
Di sinilah letak sebuah mimpi besar, sebuah "utopia" yang mendesak untuk kita bangun bersama: sebuah ekosistem pendidikan kajian sinema yang matang dan merata di Indonesia.
Dari Alat Perjuangan ke Etalase Hiburan: Jejak Sejarah yang Terlupakan
Sebagai seorang akademisi, saya tidak bisa tidak melihat film sebagai artefak sejarah yang hidup. Sejak kelahirannya, sinema Indonesia bukanlah sekadar hiburan. Tengoklah Usmar Ismail dengan Darah dan Doa (1950) yang secara berani merekam realitas revolusi. Film menjadi medium untuk membangun identitas bangsa yang baru lahir. Di era Orde Baru, film menjadi corong ideologi negara yang kuat, membentuk citra "pahlawan" dan "musuh" dalam benak jutaan rakyatnya, melalui narasi sejarah buatan yang diprooagandakan lewat "film wajib tahunan".
Artinya, film sejak dulu selalu menjadi medan pertarungan gagasan, cermin masyarakat, sekaligus alat untuk membentuk cara kita berpikir. Sayangnya, kesadaran historis ini sering kali terlewatkan. Kita kini lebih sering memposisikan film sebatas produk di etalase hiburan. Kita pandai menilai apakah sebuah film "seru" atau "membosankan", namun sering kali gagap saat ditanya: "Gagasan apa yang diusung oleh film ini? Kepentingan siapa yang direpresentasikannya?"
Pendidikan kita saat ini lebih banyak mencetak 'koki' pembuat film---sutradara, penulis naskah, sinematografer---yang tentu sangat penting. Namun, kita kekurangan 'kritikus kuliner' sinematik; audiens terdidik yang mampu membedah "rasa", "bahan baku", dan "teknik memasak" di balik sebuah karya sinematik.
Membangun Utopia: Seperti Apa Wujudnya?
Membayangkan sebuah utopia pendidikan sinema di Indonesia bukanlah angan-angan kosong. Ini adalah sebuah cetak biru yang bisa kita mulai dari langkah-langkah konkret.
1. Kajian Sinema sebagai Mata Pelajaran Lintas Disiplin
Bayangkan jika "Apresiasi dan Kritik Film" menjadi mata kuliah umum (MKU) pilihan di universitas, tak peduli apa pun jurusannya. Mahasiswa teknik belajar bagaimana narasi visual dibangun, mahasiswa ekonomi menganalisis industri film sebagai sebuah ekosistem bisnis, dan mahasiswa hukum mendiskusikan etika dan representasi dalam film.
Di tingkat SMA/SMK, kajian sinema bisa menjadi bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia (menganalisis narasi), Sejarah (film sebagai dokumen sejarah), atau Seni Budaya. Siswa tidak hanya diminta menonton, tapi juga menulis esai pendek tentang bagaimana penggunaan musik, warna, dan sudut kamera membentuk makna dalam sebuah adegan.
2. Kurikulum yang Melampaui "Baik dan Buruk"
Pendidikan sinema yang ideal tidak berhenti pada vonis "filmnya bagus" atau "jelek". Kurikulumnya harus membentangkan lanskap yang lebih luas:
 * Bahasa Sinema (Film Language): Memahami elemen dasar seperti mise-en-scne (tata adegan), sinematografi, penyuntingan, dan desain suara. Ini adalah fondasi untuk bisa "membaca" film.
 * Konteks Sejarah dan Sosial: Membedah film Pengkhianatan G30S/PKI dalam konteks politik Orde Baru. Menganalisis Ada Apa Dengan Cinta? sebagai potret generasi muda pasca-Reformasi. Membaca film Ngeri-Ngeri Sedap sebagai representasi dinamika keluarga Batak di era modern.
 * Analisis Industri dan Ekonomi Politik: Siapa yang mendanai film-film kita? Mengapa genre horor begitu dominan? Bagaimana platform streaming mengubah cara kita mengonsumsi dan memproduksi film?
 * Literasi Kritis: Melatih kepekaan untuk mengidentifikasi stereotip, propaganda, bias gender, dan pesan-pesan ideologis yang tersembunyi di balik narasi yang menghibur.
3. Dari Ruang Kelas ke Ruang Publik
Utopia ini tidak hanya hidup di ruang-ruang akademik. Ia harus merembes ke ruang publik. Komunitas-komunitas film di daerah perlu didukung. Diskusi film setelah pemutaran harus menjadi budaya. Media massa perlu memberikan ruang lebih bagi kritik film yang mendalam, alih-alih sekadar resensi yang mengulang sinopsis.
Mengapa Ini Penting?
Membangun budaya literasi sinema akan melahirkan setidaknya dua hal krusial.