Tak hanya memiliki warisan sejarah yang terkait dengan presiden pertama Indonesia, Bengkulu (sebelumnya bernama Bangkahulu dan Bencoolen) juga menyimpan benda-benda budaya yang menjadi saksi kolonialisme Inggris di Indonesia. Benda-benda tersebut masih terpelihara cukup baik sampai saat ini dan bisa dijumpai di sisi barat kota Bengkulu.
Setelah berkunjung ke rumah Ibu Fatmawati dan rumah pengasingan Bung Karno di sekitar simpang lima kota Bengkulu, saya lanjutkan perjalanan dengan naik angkutan umum warna kuning. Sepuluh menit kemudian tibalah saya di tempat tujuan. Setelah membayar ongkos tiga ribu, saya turun di tepi jalan di daerah Pecinan (China Town) tepat di bawah sebuah gapura yang bernuansa budaya Tiongkok. Lalu saya pun menyeberang ke sisi kanan jalan.
[caption id="attachment_304026" align="aligncenter" width="576" caption="Fort Marlborough"][/caption]
Fort Marlborugh, demikianlah nama benteng yang cukup megah itu. Penduduk setempat menyebutnya Benteng Malabero. Nama Marlborough ini diambil dari nama pahlawan Inggris John Churchill yang bergelar Duke of Marlborough I. Ciri yang saya lihat yang membedakan Fort Marlborough ini dengan benteng-benteng lainnya yang pernah saya kunjungi (Fort Vredeburg di Yogyakarta, atau Fort Rotterdam di Makassar) adalah adanya parit besar yang mengelilingi Fort Marlborough.
Fort Marlborough dibangun oleh East India Company pada tahun 1713-1719 di bawah kepemimpinan Joseph Collet. Sebagai benteng pertahanan Inggris, Fort Marlborough dengan luas 44.100 meter persegi ini merupakan benteng Inggris terbesar kedua di wilayah timur setelah Fort St. George di Madras, India. Selain sebagai pertahanan, Fort Marlborough juga difungsikan untuk kepentingan perdagangan oleh Inggris. Tak hanya itu, benteng ini juga sebagai tempat hunian orang-orang Inggris yang bisa dilihat dari catatan-catatan yang masih tersimpan terkait dengan kegiatan perkawinan, pembaptisan atau kematian.
[caption id="attachment_304032" align="aligncenter" width="576" caption="Jembatan kayu menuju pintu masuk utama"]
[caption id="attachment_304033" align="aligncenter" width="576" caption="Nisan bertuliskan nama James Cuney, tepat di samping loket"]
Setelah menyeberangi jembatan kayu pada pintu masuk pintu utama di sisi barat daya benteng, saya tiba di bangunan depan dan sekaligus membayar tiket masuk 2.500 rupiah. Di bangunan depan ini ada 4 buah nisan, 2 di antaranya adalah peninggalan di masa Benteng York (berlokasi di muara Sungai Bangkahulu) yang dibangun sebelum Marlborough. Nama-nama yang tertulis di nisan tersebut adalah George Shaw (1704), Richard Watts Esq (1705), James Cuney (1737) dan Henry Stirling (1774).
[caption id="attachment_304034" align="aligncenter" width="576" caption="Jembatan menuju bangunan utama"]
[caption id="attachment_304035" align="aligncenter" width="576" caption="Lapangan terbuka di tengah-tengah benteng"]
Dari bangunan depan, kembali saya menyeberang sebuah jembatan kayu untuk menuju bangunan utama benteng. Sebuah lapangan terbuka berada di tengah-tengah bangunan dengan beberapa meriam terdapat di sana. Bangunan yang mengelilingi lapangan ini memiliki beberapa ruangan yang dipergunakan sebagai barak-barak militer, ruang tahanan, ruang bawah tanah, kantor, atau gudang mesiu. Sebuah kamar yang ada pernah dijadikan sebagai ruang interogasi Bung Karno (pada masa penjajahan Belanda). Naik ke atas bangunan benteng, maka saya bisa melihat sekeliling benteng yang salah satu sisinya menghadap Samudera Hindia.
[caption id="attachment_304036" align="aligncenter" width="576" caption="Ruang interogasi Bung Karno"]
[caption id="attachment_304039" align="aligncenter" width="576" caption="Sebuah meriam di atas bangunan yang menghadap Samudera Hindia"]
Selain Fort Marlborough, ada satu warisan budaya yang terkait dengan sejarah kolonialisme Inggris di Bengkulu. Tak jauh dari Fort Marlborugh, saya berjalan kaki sekitar 100 meter menuju Tugu Thomas Parr. Tugu ini berupa tiang-tiang bergaya corinthian dengan sebuah atap yang berbentuk kubah di atasnya. Tugu ini dibangun untuk memperingati Residen Thomas Parr yang dibunuh oleh rakyat Bengkulu.
Residen Thomas Parr (masa pemerintahan 1805 – 1807) dikenal sebagai penguasa yang angkuh dan terlalu mencampuri urusan kepemimpinan tradisional dan adat masyarakat Bengkulu. Dialah yang memperkenalkan tanaman kopi dengan penanaman paksa di Bengkulu. Tak hanya dirasakan oleh rakyat Bengkulu, kekejaman Thomas Parr juga dialami oleh orang-orang Bugis yang bekerja di perusahaan dagang Inggris dan bahkan juga oleh pejabat Inggris lainnya.
[caption id="attachment_304041" align="aligncenter" width="576" caption="Tugu Thomas Parr, tak jauh dari Fort Marlborough"]
[caption id="attachment_304042" align="aligncenter" width="576" caption="Simbol perjuangan rakyat Bengkulu, kini ditetapkan sebagai cagar budaya"]
Kebencian terhadap Thomas Parr mengalami puncaknya ketika pada suatu malam tanggal 23 Desember 1807 rakyat di bawah pimpinan Depati Sukarami, Depati Pagar Dewa dan Depati Lagan mendatangi rumah kediaman Parr (sekarang dijadikan Rumah Dinas Gubernur). Tiga orang yang masuk ke rumah Parr berhasil membunuhnya. Sementara asistennya Charles Murray yang berusaha melindungi pun terluka, hingga akhirnya meninggal. Sebagai pembalasan Inggris menghancurkan dusun-dusun di Sukarami, Pagar Dewa dan Lagan tanpa prikemanusiaan.
Tahun 1808, Inggris membangun sebuah monumen untuk memperingati Thomas Parr. Bagi rakyat Bengkulu, monumen ini sebaliknya dianggap sebagai simbol perjuangan melawan kolonialisme Inggris. Monumen ini dikenal sebagai Kuburan Bulek oleh masyarakat Bengkulu. Jenazah Thomas Parr sendiri akhirnya dipindahkan oleh pemerintah Inggris dan disemayamkan di Fort Marlborough. Tugu Thomas Parr cukup ramai pada malam hari. Malam itu ketika saya hendak mencari makan malam di warung-warung yang berderet di samping area Tugu Thomas Parr, saya melihat sekelompok anak muda yang bermain skateboard dan menari dengan iringan musik hip-hop.